Peningkatan Mutu Eksternal Jejaring Laboratorium Genome Sequencing SARS-CoV-2

596

Bekasi– Pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) virus SARS-CoV-2 telah dilakukan oleh banyak negara, utamanya Indonesia. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan jenis varian SARS-CoV-2 dan keperluan epidemiologi molekuler. Demikian disampaikan oleh Wirabrata Kepala Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan (Pusjak SKK dan SDK), Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK).

“Di masa depan WGS akan sangat penting untuk deteksi patogen dalam diagnostik rutin mikrobiologi pasien, serta pemantauan untuk surveilans,” kata Wira saat membuka Workshop and Socialization for External Quality Assessment of SARS-CoV-2 Sequencing pada Senin (12/6) di Bekasi. Kegiatan yang dilakukan selama 3 hari (12-14/6) ini berkolaborasi dengan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization ‘WHO’).

Wira mengatakan BKPK sebagai koordinator Jejaring Laboratorium Genome Sequencing SARS-CoV-2 berperan penting untuk meningkatkan kualitas dengan melakukan pemantapan mutu eksternal pada jejaring laboratorium. Hal ini dilakukan guna mendapatkan hasil pemeriksaan WGS yang berkualitas.

Baca Juga  Cek Kesehatan Secara Rutin Untuk Deteksi Dini Penyakit

Menurut Wira, pemantapan mutu eksternal ini diperlukan sebagai salah satu cara untuk -penguatan kapasitas jejaring laboratorium yang sudah ada. Penguatan ini bersinergi dengan penguatan sistem surveilans yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) di seluruh provinsi di Indonesia. Proses ini secara kontinu akan dilakukan sehingga surveilans berjalan optimal dengan tambahan data pada hasil genomic sequencing.

Lebih lanjut, Rohani Simanjuntak dari Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Dirjen P2P menyampaikan perlunya informasi sekuensing beberapa penyakit yang berpotensi pandemi. Ia mengungkap bahwa telah terjadi outbreak beberapa penyakit-penyakit di luar negeri, namun belum dilaporkan di Indonesia. Penyakit tersebut adalah marburg virus, lassa fever, nipah virus, dan ilheus virus.  

“Jadi peran dari laboratorium sangat diperlukan dalam mengidentifikasi penyakit-penyakit yang belum pernah dikenal atau yang belum pernah dilaporkan di Indonesia. Dalam hal kewaspadaan, pengetahuan akan kejadian luar biasa (KLB) yang dialami negara tetangga sebagai tanda bahwa kita harus mulai mempersiapkan dan meningkatkan upaya kewaspadaan,” tegasnya.

Baca Juga  Anjangsana Ibu PKK dan Kader Posyandu Kelurahan Paseban Ke Perpustakaan dan Galeri Kebijakan Kesehatan

Sementara itu, Krisna Nur Andriana Pangesti Ketua Tim Kerja Ketahanan Surveilans dan Pemeriksaan Laboratorium Pusjak SKK dan SDK menjelaskan pentingnya surveilans genome SARS-CoV-2. Pertama, sekuensing dilakukan untuk memonitoring dan mendeteksi virus yang berpotensi menjadi varian baru. Kedua, untuk memahami bahaya ataupotensi emerging dari SARS-CoV-2, apakah varian-varian baru atau muncul jenis corona virus yang berbeda. Ketiga, memahami sifat biologis SARS-CoV-2. Keempat, pengembangan kit diagnostik molekular, vaksin, dan antiviral. Juga investigasi transmisi virus dan penyebaran.

“Dengan identifikasi varian dan dilengkapi dengan studi-studi di laboratorium pada hewan atau manusia, dapat diketahui bahkan diestimasikan protein-protein yang mempunyai kecenderungan menyebabkan penyebaran virus atau memengaruhi keparahan penyakit. Selain itu juga dapat diketahui pula jenis protein yang dapat mengubah sensitivitas alat diagnostik yang ada, selain yang telah dikembangkan sebagai antibodi untuk penanggulangan pandemi,” jelasnya.

Baca Juga  UU Kesehatan Memberi Manfaat Bagi Provinsi Baru

Selanjutnya Krisna memaparkan capaian pemeriksaan WGS pada 2020, Indonesia mampu melakukan 140 sequens yang dilaporkan melalui platform GISAID. Namun pada 2021 meningkat menjadi 11.335 sequens, meningkat 3 kali lipat pada 2022, yakni mencapai  33.328. Hingga Mei 2023 telah diperiksa lebih dari 38 ribu sekuens. Krisna mengatakan bahwa hasil pemeriksaan WGS selalu dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berkala tiap satu atau dua minggu sekali. “Hasil jejaring surveilans ini telah digunakan untuk rekomendasi kebijakan transisi pandemi ke endemi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), booster vaksin Covid-19, serta manajemen terapi dan pelayanan di fasilitas kesehatan,” ucapnya.  (Penulis Faza Nur Wulandari/editor Timker KLI)