Jakarta – Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) kembali menyelenggarakan Bincang Asik Bersama Pakar (Binar), kali ini mengusung tema “Collaborative Network Model for Tuberculosis Case Finding.” Pada kamis (28/11), acara yang berlangsung di Jakarta ini menghadirkan dua pembicara utama yang memaparkan materi strategis untuk mendukung eliminasi Tuberkulosis (TB) di Indonesia pada tahun 2030.
Materi pertama disampaikan oleh pemenang SiBijaks Awards 2024, Selvia Harum Sari, dari National Cheng Kung University, Taiwan. Selvia memaparkan pentingnya Integrasi Pelayanan Paliatif dalam Program TB untuk mencapai eliminasi TB 2030. Ia menyoroti perlunya pendekatan holistik dalam pengobatan TB, khususnya dengan mengintegrasikan pelayanan paliatif pada fasilitas kesehatan.
Menanggapi paparan tersebut, Prof. dr. Ari Natalia Probandari, MPH., Ph.D., menyampaikan bahwa pemetaan fasilitas kesehatan menjadi kunci dalam memastikan keberadaan pelayanan paliatif di fasilitas rujukan. “Belum semua layanan paliatif tersedia di fasilitas kesehatan rujukan. Kementerian Kesehatan perlu melakukan proyek percontohan (piloting project) di fasilitas yang siap, lalu mengevaluasi hasilnya untuk diterapkan lebih luas,” ujarnya.
Materi kedua disampaikan oleh Dr. Irma Prasetyowati, SKM, Mepid., dengan topik “Developing a Collaborative Network Model to Strengthen the Public-Private Mix Approach for Tuberculosis Case Findings in Rural Areas of East Java Province.” Penelitian ini bertujuan meningkatkan keberhasilan deteksi dini kasus TB di daerah pedesaan melalui pendekatan Public-Private Mix (PPM).
Dr. Irma menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk menjawab tantangan keterbatasan akses layanan kesehatan. “Pengembangan jaringan kolaboratif antara publik dan swasta terbukti meningkatkan koordinasi, melibatkan masyarakat, memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan, dan menyempurnakan mekanisme pelaporan. Hasilnya, deteksi kasus TB meningkat, diagnosis menjadi lebih cepat, dan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan juga membaik,” jelasnya.
Direktur P2PM dr. Ina Agustina Isturini, MKM turut memberikan tanggapan terhadap paparan Dr. Irma. Ia menyoroti fakta bahwa dari 1 juta perkiraan kasus TB, hanya sekitar 800 ribu yang terdiagnosis. Lebih sedikit lagi yang tercatat, dan hanya 55% pasien yang menyelesaikan pengobatan. “Sebagian besar pasien, sekitar 40%, memilih pengobatan di sektor informal seperti apotek, alih-alih Puskesmas atau rumah sakit, sehingga memperlambat pengendalian TB,” ungkapnya.
Sekretaris BKPK, dr. Etik Retno Wiyati, MARS, M.H., dalam sambutannya menegaskan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengendalian TB. “Dengan beban kasus TB tertinggi kedua di dunia setelah India, upaya deteksi dini dan penanganan yang efektif sangatlah krusial. Acara seperti Binar menjadi wadah penting untuk berbagi pengalaman dan menemukan solusi nyata,” ujar dr. Etik.
Ia berharap kolaborasi yang dibahas dalam acara ini dapat menjadi langkah nyata dalam mengatasi berbagai kendala, termasuk menjangkau populasi rentan di daerah terpencil. “Mari bersama-sama wujudkan Indonesia bebas TB dan capai target pembangunan kesehatan yang lebih baik,” pungkasnya.
Acara Binar kali ini menjadi bukti komitmen BKPK dalam mendukung inovasi dan kolaborasi untuk eliminasi TB di Indonesia, sekaligus memperkuat jejaring antara para pemangku kepentingan demi pencapaian target kesehatan global.(Penulis Nowo Setiyo Raharjo)