Fokus Berlebih pada Stunting Picu Obesitas dan Wasting

251

Jakarta – Pakar gizi, Prof Abdul Razak Thaha menyoroti adanya paradoks dalam upaya penurunan stunting di Indonesia. Menurutnya, laju penurunan prevalensi stunting justru melambat secara signifikan setelah pemerintah memberikan perhatian luar biasa melalui Peraturan Presiden (Perpres) 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting.

Menurut Prof Thaha, salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah adanya framing atau pembingkaian program yang terlalu fokus pada intervensi stunting, sehingga mengabaikan masalah gizi lainnya seperti wasting (gizi kurang). “Karena perhatian kita kepada stunting, wasting-nya tidak diperhatikan,” ungkapnya. Padahal kontribusi pertama dari stunting itu adalah wasting.

Intervensi yang hanya berfokus pada pemberian makanan kepada anak stunting dinilai menjadi penyebab naiknya angka kelebihan berat badan dan obesitas. Anak stunting kalau dikasih makan tidak membuat badannya terlalu panjang, maka terjadi kenaikan dari overweight dan obesitas. “Menurut saya itu titik masalahnya,” kata Prof. Thaha. Selanjutnya Prof Thaha menyampaikan bahwa tantangan terbesar bangsa Indonesia bukan lagi defisiensi gizi makro, tetapi defisiensi gizi mikro atau kelaparan tersembunyi (hidden hunger), khususnya defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, dan vitamin A.  “Disebut kelaparan tersembunyi karena sering kali tanda-tandanya tidak nampak, tetapi dampaknya sangat besar terhadap kualitas dan tingkat saing SDM. Karena zat gizi mikro terbukti sebagai unsur gizi penting

untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas”, ungkapnya. Oleh sebab itu penting untuk dilakukan fortifikasi dan biofortifikasi pangan untuk melengkapi zat gizi mikro.

Baca Juga  Mengajarkan Pola Hidup Sehat Pada Anak Sedari Dini

Paparan ini disampaikan dalam acara Forum Gizi Nasional 2025 yang diselenggarakan  Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan di Jakarta secara hybrid yang diikuti  sekitar 800 orang pada Selasa (8/9). Peserta berasal dari lintas program dan lintas sektor, akademisi dan profesi, Non Governmental Organization (NGO), development partner, dan swasta. Selain dihadiri oleh pakar gizi Prof Abdul Razak Thaha, acara juga menghadirkan Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan (Dirjen Kesprimkom Kemenkes) Maria Endang Sumiwi dan Mamadou Ndiaye (Chief of Nutrition UNICEF Indonesia) sebagai narasumber.

Dalam kesempatan ini, Dirjen Kesprimkom Kemenkes mengemukakan penanganan masalah gizi di Indonesia selama ini cenderung bersifat responsif atau bereaksi setelah masalah muncul, bukan proaktif dan strategis. Hal ini disampaikan seiring dengan terungkapnya sejumlah tantangan gizi nasional, termasuk penurunan angka cakupan ASI eksklusif dan kualitas makanan pendamping ASI (MPASI) yang masih rendah. Cakupan ASI Eksklusif menurun dari 68,6% hasil SKI 2023 menjadi 66,4% berdasarkan hasil SSGI 2024. Pihaknya kini tengah melakukan evaluasi menyeluruh untuk merumuskan program gizi nasional yang lebih komprehensif dan strategis.

“Kualitas MPASI juga masih jauh dari harapan. Menurut data Kemenkes, hanya 48,3% anak yang mengonsumsi MPASI sesuai standar minimal, yaitu 5 dari 8 jenis kelompok pangan”, ungkap Endang lebih lanjut. Ditemukan bahwa 21,6% MPASI yang diberikan kepada balita 6-23 bulan bahkan tidak mengandung protein hewani sama sekali. Padahal Kemenkes selama tiga tahun terakhir gencar mengampanyekan pentingnya protein hewani dalam MPASI.

Baca Juga  Mengenang Almarhumah Menkes Endang Untuk Bersikap Jujur

Pola konsumsi masyarakat secara umum juga menunjukkan masalah, di mana pengeluaran untuk makanan dan minuman olahan tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan untuk telur dan susu, dan bahkan enam kali lipat lebih besar dari pengeluaran untuk buah serta sayuran..

Berbagai tantangan tersebut merupakan bagian dari tiga masalah gizi utama (triple burden of malnutrition) yang dihadapi Indonesia secara bersamaan. Kita punya tiga masalah, undernutrition, micronutrient deficiencies, (dan) overweight, dan obesity,” kata Dirjen Kesmas

Di tengah berbagai tantangan tersebut, Dirjen Endang memberikan apresiasi tinggi kepada para ahli gizi dan komunitas gizi di seluruh Indonesia yang dinilai sebagai tulang punggung dalam menyosialisasikan pedoman Gizi Seimbang. “Dan ternyata kekuatan kita itu adalah kekuatan para ahli gizi, kalau saya lihat saat ini backbone-nya. Jadi kita mau terima kasih dulu ya sama para ahli gizi,” ujarnya. Untuk mempermudah pemahaman masyarakat, Kemenkes telah menerjemahkan konsep Gizi Seimbang dan Isi Piringku ke dalam bentuk visual yang lebih praktis.

Ke depan, Kemenkes bersama UNICEF dan para ahli sedang melakukan tinjauan program gizi nasional (National Nutrition Program Review). Hasil tinjauan ini diharapkan dapat menjadi dasar penyusunan rencana aksi nasional yang lebih strategis, proaktif, dan komprehensif untuk mengatasi permasalahan gizi di seluruh siklus kehidupan.

Baca Juga  Semarak BKPK Gembira HUT RI Ke-77

Mamadou Ndiaye mengungkapkan Strategi gizi UNICEF 2020-2030 bertujuan untuk mengakhiri masalah gizi anak dalam segala bentuk dan memastikan setiap anak memiliki akses untuk makanan bergizi, dengan fokus pada pencegahan dan penanganan dalam seluruh siklus kehidupan.

Pendekatan sistem UNICEF terhadap gizi bertujuan untuk membuat lima sistem utama yaitu pangan, kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan serta perlindungan sosial lebih siap dan lebih bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bergizi, layanan gizi utama, dan praktik gizi positif bagi anak-anak, remaja, dan perempuan.

Ada beberapa rekomendasi yang disampaikan Mamadou Diaye. Salah satunya, meninjau kembali dan menyelaraskan kebijakan gizi dengan standar global, memastikan relevansi kontekstual berdasarkan beban dan kapasitas implementasi.

Berbagai pandangan dan data yang mengemuka dalam Forum Nasional Gizi 2025 menegaskan bahwa permasalahan gizi di Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan tunggal. Fokus berlebihan pada satu isu, seperti stunting, tanpa mempertimbangkan keseimbangan intervensi gizi lainnya berpotensi menimbulkan dampak baru seperti obesitas dan wasting. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan gizi nasional yang lebih komprehensif, preventif, dan berbasis bukti, dengan memperkuat edukasi gizi seimbang serta kolaborasi lintas sektor. Melalui langkah strategis ini, Indonesia diharapkan mampu menekan triple burden of malnutrition dan menciptakan generasi yang lebih sehat, produktif, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045. (Penulis Fachrudin Ali, Editor Timker HDI)