
Jakarta-Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional ke 61, Kementerian Kesehatan melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) berkolaborasi dengan IQVIA menyelenggarakan Webinar Health Technology Assessment (HTA) dengan tema HTA From Policy to Practice: Navigating Indonesia’s Evolving HTA Landscape pada Kamis (30/10). Webinar ini menjadi sarana pertukaran pengetahuan HTA secara global dan lokal dengan menyajikan perkembangan terkini dan prospek masa depan HTA dari ranah kebijakan menjadi layanan kesehatan yang berkualitas.
Disampaikan oleh Direktur Jenderal Ditjen Farmasi dan Alat Kesehatan L. Rizka Andalusia dalam sambutannya bahwa perkembangan teknologi kesehatan baik itu vaksin, therapi, diagnostik dan teknologi medis lainnya termasuk robotik dan Artificial Intelegent (AI) sangat cepat sekali. Untuk memastikan setiap teknologi baru yang akan diterapkan dalam pelayanan kesehatan perlu dilakukan HTA.
“HTA merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan, assesement atau kajian terhadap suatu teknologi yang baru apakah itu benar-benar cost effective atau tidak, apakah ia memberi manfaat yang baik dan memberikan dampak positif terhadap pelayanan kesehatan yang sudah ada sangat diperlukan,” ujar Rizka.
Rizka mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk memperkuat sistem HTA dan berupaya agar masyarakat memperoleh akses terhadap teknologi kesehatan yang berkualitas dengan biaya yang seefektif mungkin. Karena itu pelaksanaan HTA diharapkannya dilakukan secara terstruktur dan sesuai standar internasional.
Hal senada disampaikan Kepala BKPK Prof. Asnawi Abdullah ketika membuka kegiatan ini. Menurutnya HTA diperlukan untuk menilai berbagai teknologi kesehatan agar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dengan mengoptimalkan sumber daya serta value for money.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Prof. Asnawi setelah diluncurkannya proses bisnis HTA “Satu Pintu Satu Standar” oleh Menteri Kesehatan pada akhir tahun lalu, penerapan HTA menjadi semakin krusial dan berkembang pesat. Reformasi ini menandai tonggak penting dengan penyatuan pengajuan untuk alat kesehatan, diagnostik, dan farmasi di bawah satu sistem tunggal yang terkoordinasi dan transparan.
Reformasi ini juga menetapkan standar yang jelas, metodologi yang adaptif, dan siklus peninjauan yang lebih cepat yang memastikan teknologi bernilai tinggi menjangkau pasien secara lebih efisien, sekaligus mempertahankan ketelitian dan akuntabilitas ilmiah.
“Ini bukan sekadar perbaikan birokrasi. Ini adalah komitmen struktural untuk sistem kesehatan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan substansial dalam penilaian teknologi kesehatan yang dilembagakan sebagai instrumen kebijakan berbasis bukti yang penting,” ujar Prof. Asnawi.
Ditambahkan Prof. Asnawi bahwa kini HTA menjadi pendorong kebijakan, yang secara langsung memengaruhi perancangan paket manfaat dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan mendukung komitmen pemerintah yang lebih luas terhadap pengeluaran layanan kesehatan yang efisien dan berkeadilan.
Kedepannya ada 3 langkah strategis yang perlu dilakukan dalam upaya mendorong HTA menjadi layanan kesehatan yang berkualitas menurut Prof. Asnawi. Pertama dengan memperdalam kolaborasi lintas sektor. Kemitraan yang lebih kuat antara pemerintah, akademisi, industri, dan kelompok pasien akan memastikan bahwa proses penilaian teknologi kesehatan mencerminkan beragam perspektif dan prioritas nasional.
Kedua adalah membangun kapasitas metodologis dan analitis dengan terus menyempurnakan perangkat mulai dari pemodelan ekonomi hingga pengumpulan bukti nyata, untuk memastikan penilaian yang tepat waktu, andal, dan relevan dengan kebutuhan kebijakan Indonesia. Sementara upaya ketiga adalah memastikan kesetaraan dan keberlanjutan.
“Teknologi gratis yang kita nilai seharusnya tidak hanya hemat biaya, tetapi juga meningkatkan akses dan hasilnya, terutama bagi mereka yang paling rentan. Dengan kata lain, teknologi kesehatan harus membuat kita mampu menjawab pertanyaan, bukan hanya apakah kita mampu membelinya, tetapi juga apakah kita mampu untuk tidak membelinya,” pungkasnya.
Narasumber yang dihadirkan pada kegiatan ini adalah dr. Panji Hadisoemarto perwakilan dari Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) yang memaparkan tentang The Landscape of Health Technology Assessment (HTA) in Indonesia serta Sirin Petcharapiruch pimpinan Realworld Evidence IQVIA Asia Pacific yang membawakan topik Global HTA Implementation: Lessons Learned and Implications for Indonesia.
Dalam paparannya Sirin menyampaikan bahwa implementasi HTA akan sangat menantang, oleh karena itu untuk mengatasi tantangan implementasi HTA memerlukan pendekatan multidisiplin. Ia menekankan kolaborasi antar pemangku kepentingan merupakan salah satu langkah yang paling penting. Dibutuhkan kolaborasi yang kuat dari semua pemangku kepentingan yang relevan, tidak hanya dari pembuat kebijakan tetapi juga industri hingga masyarakat.
“Menurut saya pengembangan kapasitas juga sangat penting, terutama untuk negara yang baru menerapkan HTA, bagaimana mereka memastikan kemampuan para peneliti dan para ahli, mendanai pelatihan HTA akan membantu meningkatkan kapasitas di negara tersebut. Selain itu berkolaborasi dan bertukar pengetahuan dengan organisasi internasional atau negara lainnya juga akan sangat membantu,” ujar Sirin.
Webinar ini mendapatkan antusiasme yang bagus dari peserta. Hadir dalam webinar ini perwakilan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Tenaga Ahli Komisi IX Bidang Kesehatan DPR RI, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Organisasi Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Organisasi Profesi Kesehatan, Asosiasi Rumah Sakit, serta para Akademisi dari Universitas dan Politeknik Kesehatan di Indonesia. (Penulis: Kurniatun Karomah, Editor: Timker KSTK, Timker HDI)









