
Jakarta – Mulai tahun 2025, Pemerintah meluncurkan program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) atau lebih dikenal sebagai Cek Kesehatan Gratis (CKG). Inisiatif baru ini bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui skrining di komunitas untuk mencegah penyakit serius, yang pada akhirnya akan mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas. CKG juga ditetapkan sebagai salah satu Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) oleh presiden.
Untuk memastikan program ini berjalan efektif, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) mengadakan Webinar Koordinasi Pembinaan Wilayah kelima dengan topik “Peran Akademisi dalam Analisis CKG.” (28/8/2025)
Dalam webinar tersebut, Kepala BKPK, Prof. Asnawi Abdullah, menyampaikan bahwa CKG bertujuan mengubah paradigma masyarakat dari “paradigma sakit” menjadi “paradigma sehat”, serta menanamkan pentingnya menjaga dan memelihara kesehatan. Asnawi juga menyoroti bahwa meskipun partisipasi masyarakat untuk mengikuti CKG semakin tinggi, namun belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya agar cakupan CKG mencapai target yang telah ditetapkan.
Menurut data per 27 Agustus 2025 yang dipaparkan oleh Roy Himawan, Direktur Tata Kelola Pelayanan Kesehatan Primer, Direktorat Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas, Kementerian Kesehatan, diperoleh data pendaftar CKG sebanyak 22.729.421 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21.362.570 (94%) telah dilayani, dan 16.166.446 (76%) telah selesai dilayani. Adapun tiga provinsi dengan jumlah peserta CKG terlayani tertinggi adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Peran Akademisi dan Tantangan yang Dihadapi
“Kementerian Kesehatan menaruh harapan besar kepada poltekes, universitas, institusi pendidikan kesehatan untuk lebih berperan dalam beberapa hal terutama bagaimana strategi meningkatkan partisipasi dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program CKG ini di lapangan,” ujar Asnawi. Ia juga menambahkan bahwa perguruan tinggi diharapkan dapat membantu merancang strategi komunikasi dan pendekatan komunitas untuk mendorong partisipasi masyarakat.
Asnawi menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa masyarakat enggan melakukan CKG, di antaranya adalah perasaan sehat sehingga tidak merasa perlu diperiksa, serta rasa takut mengetahui jika ternyata memiliki faktor risiko atau penyakit.
“Nah, ini beberapa challenge untuk bahan bapak ibu semuanya mencari, mendiskusi, melakukan kajian riset bagaimana strategi mengubah paradigma masyarakat kita,” ajak Asnawi kepada para peserta.
Asnawi juga mengapresiasi kolaborasi yang dilakukan oleh Kampus Universitas Indonesia Maju (UIMA) dengan Puskesmas setempat untuk CKG bagi mahasiswa baru. Kolaborasi ini dinilai dapat membantu meningkatkan capaian CKG. Hal ini juga sejalan dengan harapan Dinas Kesehatan selaku pelaksana program CKG terhadap peran aktif perguruan tinggi dalam mendukung capaian CKG.
Nur Rizki Ramadhani, perwakilan UIMA mengatakan bahwa data mahasiswa tersebut rencananya akan dijadikan sebagai data dasar dan pemantauan berkala kesehatan mahasiswa. Ke depannya data tersebut akan digunakan sebagai bahan kajian penelitian dosen untuk memahami kesehatan mahasiswa sebagai kelompok usia produktif.
Iwan Ariawan, akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa berdasarkan pedoman CKG, orang berusia di atas 40 tahun yang terdiagnosis hipertensi atau diabetes melitus (DM) seharusnya menjalani pemeriksaan lanjutan risiko kardiovaskuler, seperti profil lipid, EKG, dan fungsi ginjal (melalui ureum dan kreatinin).
Namun, dari 1.069.659 orang berusia di atas 40 tahun yang terdiagnosis hipertensi atau DM hingga awal Juni 2025, hanya sedikit yang mendapatkan pemeriksaan lanjutan tersebut, yaitu profil lipid (23%), EKG (14%), dan fungsi ginjal (16,66%).
“Tentunya ini menimbulkan kerugian pada orang itu sendiri karena tidak lanjut assessment untuk risiko penyakit kardiovaskulernya,” ujar Iwan. Ia melanjutkan, “Dan untuk Kesehatan Masyarakat juga, karena kita tidak bisa menginterpretasikan risiko penyakit kardiovaskuler di populasi seperti apa.”
Iwan juga menyoroti bahwa ketepatan sasaran pemeriksaan profil lipid, EKG, dan fungsi ginjal masih kurang baik. Separuh dari orang yang diperiksa salah satu dari ketiga pemeriksaan ini tidak tepat sasaran (berusia kurang dari 40 tahun, tidak menderita hipertensi, dan tidak menderita DM). Hal tersebut perlu diteliti untuk studi implementasi.
Meskipun CKG terbukti efektif mendeteksi kasus hipertensi, diabetes melitus, dan faktor risikonya, temuan ini hanya memberikan manfaat optimal jika diikuti dengan cakupan tindak lanjut yang tinggi dan berkualitas.
Kesenjangan Partisipasi dan Kolaborasi
Asnawi juga mengungkapkan adanya kesenjangan partisipasi yang sangat tinggi antar wilayah, yang terlihat dari angka cakupan CKG di berbagai daerah. Oleh karena itu, pembinaan wilayah dan keterlibatan semua pemangku kepentingan sangat diperlukan.
Roy Himawan menambahkan bahwa setelah tahap persiapan, para pembina wilayah diharapkan dapat memfasilitasi pelaksanaan CKG, baik dalam peningkatan kapasitas, perhitungan kebutuhan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), pencatatan dan pelaporan, identifikasi dan pendampingan terhadap tantangan, serta koordinasi lintas sektor dan mitra pembangunan.
“Pada tahap monev tentunya ini yang kami harapkan. Dukungan Bapak Ibu pembina wilayah untuk bersama-sama memantau hasil pelaksanaan dan kita berkoordinasi dalam melaporkan hasilnya untuk dapat dievaluasi secara rutin,” ujar Roy.
Kegiatan yang diselenggarakan secara hybrid ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk pembina dan koordinator wilayah binwil Kementerian Kesehatan, pendamping program binwil Kementerian Kesehatan, kepala dinas provinsi/kabupaten/kota se-Indonesia, akademisi Poltekkes se-Indonesia, Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI), serta masyarakat umum. (Penulis: Evi Suryani Editor: Timker MIK)








