Salah satu fungsi Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) yaitu memberikan rekomendasi kebijakan berbasis bukti, Pusat Kebijakan (Pusjak) telah menyusun policy brief program strategis sepanjang tahun 2024. Policy Brief ini merupakan hasil kajian kerja sama Pusat Kebijakan dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Dalam laman ini, kami menyajikan ringkasan eksekutif policy brief yang telah disusun dan direviu, mencerminkan fokus kebijakan Kementerian Kesehatan pada isu-isu krusial seperti transformasi digital kesehatan, penguatan layanan primer, ketahanan kesehatan, serta pengembangan SDM kesehatan. Hasil kajian telah disampaikan ke unit pengampu program dan kami berharap hasil kajian dapat menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan dalam merancang intervensi yang tepat dan efektif demi mewujudkan sistem kesehatan nasional yang tangguh dan responsif. Daftar ringkasan eksekutif policy brief dapat diakses di bawah ini.
Beranda Policy Brief – Implementation Research 2024
Policy Brief – Implementation Research 2024
Ringkasan : Kader posyandu menjadi garda terdepan dalam melakukan upaya penapisan dan pendampingan pada balita dalam menangani permasalahan gizi. Untuk itu, Kementerian Kesehatan mengupayakan pemenuhan alat antropometri di Posyandu dan melaksanakan pelatihan 25 kompetensi dasar bagi kader termasuk pemantauan pertumbuhan balita yang sangat penting guna menilai status gizi balita. Kajian dilakukan untuk menilai implementasi kebijakan peningkatan kapasitas kader dalam pemantauan pertumbuhan balita di Kab. Bandung Barat, Kota Tangerang Selatan, Kab Gianyar, dan Kota Metro.
Kajian dilakukan secara Mixed-method. Data terkait pengetahuan dan keterampilan akan dikumpulkan secara kuantitatif. Sementara data terkait dengan pelaksanaan pelatihan kader, pemberdayaan kader, pemanfaatan dana BOK, faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan akan dikumpulkan secara kualitatif. Data Kualitatif diperoleh dari wawancara mendalam mulai dari Tingkat posyandu, puskesmas, dinas kesehatan kab/kota, dinas kesehatan provinsi sampai Tingkat pusat (Direktorat Promosi Kesetan dan Gizi KIA) sedangkan Focus Group Discussion (FGD) dilakukan pada kader.
Full Text
Ringkasan : Indonesia menghadapi tantangan kesehatan dengan tingginya angka penyakit tidak menular (PTM) dan beban ganda penyakit. Pelayanan kesehatan melalui Integrasi Layanan Primer (ILP) memainkan peran penting dalam meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan melakukan transformasi sistem pelayanan kesehatan primer yang berfokus pada: a) pendekatan siklus hidup sebagai platform integrasi pelayanan kesehatan sekaligus sebagai platform penguatan promosi dan pencegahan; b) mendekatkan pelayanan kesehatan melalui jejaring hingga tingkat desa dan dusun, termasuk untuk memperkuat promosi dan pencegahan serta resiliensi terhadap pandemi; serta c) memperkuat Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS) melalui pemantauan dengan dashboard situasi kesehatan per desa.
Pelayanan kesehatan pada ILP dilakukan melalui sistem klaster yang diintervensi oleh semua program. Klaster tersebut adalah: 1) Klaster 1: Manajemen; 2) Klaster 2: Ibu dan Anak; 3) Klaster 3: Usia Produktif dan Lanjut Usia; 4) Klaster 4: Penanggulangan Penyakit Menular; 5) Lintas Klaster. Evaluasi ILP bertujuan untuk menilai efektivitas implementasi program, mengidentifikasi hambatan dan pendukung, serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk perluasan dan perbaikan pelaksanaan ILP di seluruh Indonesia.
Evaluasi dilakukan dengan menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, Product) pada 3 Puskesmas terpilih (Puskesmas Kebonsari, Jereweh, dan Plantungan). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sistem kluster dapat diterapkan di Puskesmas, terlihat adanya peningkatan dalam beberapa aspek layanan kesehatan terkait skrining kesehatan serta penurunan tingkat rujukan meskipun belum signifikan. Kendala yang dihadapi: keterbatasan anggaran, peningkatan beban kerja, kesulitan dalam pelaporan, dan regulasi yang belum optimal. Untuk itu diperlukan penguatan sumber daya, peningkatan sistem koordinasi, penguatan monitoring dan evaluasi serta alokasi insentif kader oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mendukung implementasi yang lebih baik di masa depan.
Full Text
Ringkasan : Layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Hasil riset implementasi pada pilot project layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat (Keswamas) di Kota Manado menunjukkan bahwa pelaksanaannya belum optimal karena koordinasi lintas sektor masih lemah, ketersediaan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) masih kurang, alokasi pembiayaan masih belum jelas, sarana prasarana seperti obat dan fasilitas rehabilitasi masih terbatas, peran keluarga masih kurang, serta sistem pencatatan dan pelaporan belum terstandarisasi.
Lima strategi kunci yang direkomendasikan untuk mengatasi tantangan tersebut yaitu: penguatan tata kelola, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan peran keluarga, optimalisasi pembiayaan, memastikan ketersediaan dan kecukupan saran prasarana, serta penguatan sistem pencatatan dan pelaporan.. Dengan strategi ini, pelaksanaan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat dapat diperkuat untuk mewujudkan layanan kesehatan jiwa yang inklusif dan berkelanjutan.
Full Text
Ringkasan : Implementasi kebijakan jejaring pengampuan pelayanan Kanker, Kardiovaskular, Stroke dan Jantung (KJSU) dalam rangka memeratakan akses dan kualitas pelayanan kesehatan belum terlaksana secara optimal akibat kesenjangan dalam pemenuhan sumber daya antar strata RS dan antar-wilayah, pelaksanaan tugas pengampuan belum sesuai, dan kemampuan penyelenggaraan pelayanan yang belum memadai.
Oleh karenanya, agar target program bisa tercapai maka diperlukan optimalisasi implementasi kebijakan jejaring pengampuan KJSU dengan cara: 1) Percepatan pemenuhan sumber daya dengan memperkuat sisi supply, peningkatan kompetensi SDMK dan penganggaran terutama di RS strata madya dan utama; 2) Penguatan pelaksanaan tugas pengampuan dengan peningkatan kapasitas manajerial dan pendampingan dalam perencanaan penyelenggaraan pengampuan serta monev yang sistematis; dan 3) Peningkatan kemampuan pelayanan dengan pemenuhan sumber daya esensial, harmonisasi regulasi teknis antara Kemenkes, BPJS, BAPETEN dan BPOM.
Full Text
Ringkasan : Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan amanah UU 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. (2004) dengan harapan masyarakat mendapatkan mutu
pelayanan yang lebih baik dan ekuitas dalam pelayanan di rumah sakit. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 59 tahun 2024 dan Kepdirjen Yankes No Hk.02.02/I/2995/2022 telah menetapkan 12 Kriteria KRIS JKN. Semua rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS ditargetkan telah menerapkan KRIS JKN per 30 Juni 2025. Namun pada kenyataannya masih terdapat kendala yang dihadapi rumah sakit dalam implementasi KRIS JKN. Data hasil survei online, monev dan kajian menunjukkan dari 12 kriteria KRIS, ada kriteria yang sulit dipenuhi oleh Rumah Sakit yaitu penyediaan outlet oksigen, kelengkapan standar tirai/partisi, kelengkapan TT (nurse call), kamar mandi dalam dan kamar mandi aksesibilitas. Hasil analisis akar masalah ditemukan bahwa masih belum jelasnya konsep KRIS JKN; besarnya dana yang dibutuhkan untuk implementasi KRIS JKN; beberapa kriteria terlalu rigid; kurangnya dukungan pemilik RS/Pemerintah, masih kurangnya sosialisasi dan advokasi di internal dan eksternal RS, belum diterapkannya sistem reward and punishment; dan belum adanya norma,standar, prosedur dan ketentuan (NSPK) monev berjenjang dan terintegrasi. Beberapa data kajian bervariasi menunjukkan dampak kebijakan KRIS terhadap indikator pelayanan khususnya jumlah tempat tidur (TT), Bed Occupancy Rate (BOR), dan pendapatan RS dalam kurun waktu sebelum dan sesudah diterapkan KRIS di RS. Namun dari semua data tersebut implementasi KRIS JKN tidak berpotensi memiliki pengaruh negatif terhadap indikator pelayanan dan pendapatan RS, tapi tetap perlu dilakukan mitigasi berkesinambungan terhadap perubahan indikator tersebut sehingga kepuasan pasien JKN puas/sangat puas terhadap kebijakan KRIS tidak mengalami penurunan.
Agar tercapainya target 2025 semua RS telah mengimplementasikan KRIS JKN maka perlu dilakukan
strategi optimalisasi melalui (1) percepatan penyusunan berbagai regulasi/NSPK yang memuat: konsep KRIS, kelas tunggal, pentahapan implementasi, uraian teknis 12 kriteria, monev, advokasi, skema bantuan pendanaan serta reward punishment; (2) Penguatan peran dan keterlibatan aktif Dinas Kesehatan, Manajemen RS, Pemilik RS, Dewan Pengawas dan lintas sektor terkait dalam : sosialisasi, advokasi berkesinambungan, bantuan pendanaan dan monev berjenjang serta terintegrasi.
Full Text
Ringkasan : Penemuan pasien tuberkulosis (TBC )sebagai sumber penularan dan pemberian pengobatan segera dan tepat terhadap sumber penularan tersebut merupakan strategi yang sangat penting untuk memutus rantai penularan TBC. Selain itu, untuk mencapai eliminasi TBC, strategi tersebut harus disertai dengan upaya pencegahan seperti pemberian vaksin dan terapi pencegahan TBC (TPT) untuk individu yang berisiko tinggi.
Berbagai upaya dalam pengendalian TBC telah dilakukan, tetapi capaian temuan kasus TBC di Indonesia belum pernah mencapai target yang ditentukan, bahkan mengalami penurunan selama pandemi COVID (2020-2021). Meskipun demikian, pada 2022 temuan kasus TBC meningkat menjadi 68% dan pada 2023 mencapai 72%. Namun, angka ini masih belum mencapai target, yaitu 90%. Hal ini menunjukkan masih banyak kasus yang tidak tercatat atau missing cases, yaitu orang yang sakit TBC belum tercatat di program TBC nasional, yang dapat dikarenakan pasien TBC belum memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan (faseks),
pasien telah memeriksakan diri tetapi tidak terdiagnosis TBC, pasien telah terdiagnosis TBC tetapi belum mendapat pengobatan, atau pasien telah terdiagnosis dan diobati namun belum dilaporkan ke program TBC nasional.
Full Text
Ringkasan : Seiring dengan transformasi sistem kesehatan di Indonesia, kebijakan nasional Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kanker Leher Rahim (EKLR) sejalan dengan Strategi Global yang dicanangkan oleh World Health Organization dalam mengendalikan kanker serviks adalah sangat tepat. Kesenjangan pelayanan kanker leher rahim pada implementasi strategi nasional dapat diatasi melalui kesiapan fasilitas kesehatan, mulai dari tatanan pelayanan primer (puskesmas dan laboratorium kesehatan daerah) hingga pelayanan tersier (rumah sakit) dalam memberikan pelayanan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif berupa imunisasi, skrining, tatalaksana lesi pra kanker dan kanker invasif. Peningkatan kesiapan alat/bahan, sumber daya manusia (SDM), dan prosedur, serta mampu layanan (khusus RS) akan mendukung implementasi RAN eliminasi kanker leher rahim pilar pertama. Melalui langkah konkrit mempersiapkan dan meningkatkan seluruh aspek alat/bahan, SDM, dan prosedur yang tersedia, Indonesia akan mampu mencapai target eliminasi kanker leher rahim 2030.
Full Text
Ringkasan : Dalam upaya meningkatkan Kesehatan ibu dan anak, Pemerintah Indonesia menetapkan standar pelayanan antenatal yang disertai dengan pemeriksaan oleh dokter dengan ultrasonografi (USG) sebanyak 2 kali pada trimester 1 dan trimester 3. Pada tahun 2024, sekitar 92% PKM telah memiliki USG dalam kondisi baik, dan 83% telah melakukan pelayanan ANC yang disertai dengan USG.
Selama 3 tahun program pelayanan USG di Puskesmas, telah terjadi peningkatan cakupan layanan, dari sekitar 31% K1 di 2022, menjadi 41% di 2023, dan 50% sampai bulan Oktober 2024. Pelayanan USG untuk K5 juga mengalami peningkatan dari 29% di 2022, menjadi 44% di 2023, dan 49% di 2024. Sebanyak 84% dari PKM yang memiliki USG, telah memiliki dokter terlatih yang berstatus ASN. Sebagian besar PKM (56%) melakukan pelayanan dilakukan sebanyak 1-2 hari dalam seminggu, dengan rata-rata 32 ibu hamil dilayani per bulan (15 K1, dan 17 K5). Sebanyak 89% PKM yang telah melakukan ANC dengan USG, melaporkan pernah merujuk kasus yang dideteksi dengan USG.
Terdapat beberapa hambatan dari sisi regulasi dan kebijakan, logistik, sumber daya manusia, sarana prasarana, maupun monitoring dan evaluasi yang perlu untuk diatasi agar implementasi program dapat berjalan dengan lebih baik. Langkah yang diperlukan antara lain menyusun regulasi dan pedoman teknis lebih detail tentang penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan USG, serta mekanisme monitoring, dan evaluasi. Koordinasi terkait pre-service training bagi dokter, pelatihan bersertifikat, refresher training atau pendampingan oleh spesialis obsgyn. Pemetaan kesiapan puskesmas serta pemenuhan kebutuhan SDM maupun sarana prasarana untuk pelayanan ANC berkualitas dengan USG juga perlu dilakukan untuk meningkatkan ANC berkualitas dengan USG dalam upaya deteksi dini dan peningkatan Kesehatan ibu.
Full Text
Ringkasan : Riset implementasi program Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) dilakukan untuk mengetahui acceptability dan feasibility penyelenggaraan BGSi dengan menggunakan kerangka konseptual Consolidated Framework for Implementation Research (CFIR). Pengumpulan data awal dilakukan melalui survei secara daring ke seluruh Hub dan BB Binomika. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui diskusi kelompok terarah secara daring dan wawancara tatap muka saat kunjungan dan observasi ke tiga lokasi hub. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada perwakilan dari Kemenkes, BKPK, dan BB Binomika.
Hasil pengamatan langsung menunjukkan bahwa pelaksanaan tiga ruang lingkup kegiatan BGSi yaitu biobank (BB), genome sequencing (GS), dan manajemen data (MD) masih memerlukan
peningkatan dan pengembangan kapasitas pada level individual, organisasi, dan kelembagaan agar
dapat menghasilkan produk atau layanan kesehatan yang optimal. Tantangan utama adalah bagaimana
melakukan translasi hasil genome sequencing, yang berupa informasi genetika DNA ditambah dengan
informasi pribadi (demografi dan klinis), menjadi layanan kesehatan yang lebih akurat dan presisi.
Terdapat dua kategori utama yang mendukung pelaksanaan BGSi yaitu persepsi kebermanfaatan
inovasi BGSi bagi lembaga dan masyarakat, serta perubahan perilaku dalam pelaksanaan tugas
pelayanan/ penelitian. Di sisi lain teridentifikasi faktor penghambat sebanyak 69 tantangan yang
sebagian besar bersifat organisasi (39 tantangan) dibandingkan dengan aspek yang merujuk pada
komponen lain dari BGSi (30 tantangan).
Full Text
Ringkasan : Capaian implementasi Rekam Medis Elektronik (RME) di fasyankes per September 2023 baru mencapai 62,5% dari target 100% diakhir Desember 2023 sesuai dengan SE HK.02.01/MENKES/1030/2023 tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Dan dari angka tersebut baru 44,5% yang telah terkoneksi ke dalam SatuSehat. Padahal, SatuSehat dibangun sebagai ekosistem pertukaran data kesehatan dengan visi menghubungkan beragam sistem informasi dalam ranah digital kesehatan di tanah air dengan tujuan utamanya adalah untuk menciptakan integrasi yang sinergis antara fasilitas pelayanan kesehatan, entitas regulator, penjamin, serta penyedia layanan digital.
Implementasi SatuSehat khususnya RME di daerah cukup bervariasi, dipengaruhi oleh sejumlah tantangan khusus seperti variabilitas infrastruktur, ketersediaan sumber daya, serta tingkat kesiapan teknologi di berbagai wilayah. Oleh karena itu, sangat esensial bagi pemerintah, pemangku kepentingan, serta penyedia layanan kesehatan untuk memahami bagaimana variasi implementasi serta dan mengidentifikasi hambatan dalam mengimplementasikan SatuSehat guna mewujudkan visi kesehatan digital Indonesia yang terintegrasi dan berkelanjutan. Riset ini mengkaji implementasi SatuSehat di daerah, dengan mengeksplor variasi implementasi SatuSehat dalam hal kepatuhan dan keberterimaan, serta menilai hambatan dan dukungan dalam implementasi SatuSehat di daerah.
Full Text
Ringkasan : Turunnya pengguna SatuSehatMobile (SSM) yang sebelumnya PeduliLindungi di masyarakat membuat tanda tanya apakah memang aplikasi SSM ini masih diperlukan di masyarakat setelah pandemi COVID-19 berlalu. Pengguna PeduliLindungi mencapai 105 juta lebih pada 1 Maret 2023. Pada tahun 2024 data per September hanya 20 ribuan pengguna yang sudah KYC/verifikasi, 2,5 jutaan belum KYC, dan 100 jutaan pengguna tidak aktif/menghapus dari perangkatnya. Selain sertifikat vaksin, SSM telah terhubung dengan SATUSEHAT Platform (SSP) sebagai personal health records (PHR) untuk pemantauan kesehatan pribadi melalui catatan kesehatan, resume medis, deteksi dini resiko penyakit, pemantauan kesehatan anak, promosi dan edukasi kesehatan, dan pencarian layanan kesehatan.
SSM sebagai aplikasi Kesehatan resmi Kemenkes RI idealnya mampu menghadirkan layanan yang terintegrasi dan personal dalam satu aplikasi. Jumlah pengguna yang menurun, mengindikasikan sejumlah tantangan implementasi SSM di masyarakat yang perlu diidentifikasi untuk meningkatkan kebermanfaatan dalam integrasi layanan kesehatan di Indonesia.
Full Text
Ringkasan : WHO telah mencanangkan “The End TB Strategy” dengan target dapat menurunkan angka kematian akibat TB hingga 95% dan menurunkan angka kejadian TB hingga 90% secara global pada tahun 2035. Salah satu skemanya, adalah melalui pengembangan vaksin dengan Kerjasama internasional. Kemenkes telah membuat kebijakan dan MoU untuk keterlibatan dan pelaksanaan uji klinis vaksin TB di Indonesia. Vaksin yang digunakan adalah M72/ASO1E merupakan salah satu vaksin yang menunjukkan efikasi cukup tinggi (54%) dan berhasil memasuki uji klinis fase III. Bekerjasama dengan BMGF, uji klinis fase III ini bersifat multisentra dan diharapkan akan meningkatkan peluang bagi Indonesia untuk memperoleh vaksin TB yang relevan dengan kondisi di Indonesia. Uji klinis fase III ini dilaksanakan di 5 site antara lain Rumah Sakit UI, Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, Fakultas Kedokteran UI, dan Research Center for Care and Control of Infectious Disease (RC3ID) Universitas Padjadjaran, yang saat ini semua persyaratan uji klinis vaksin TB fase III sudah terpenuhi, yaitu (i) penunjukan ORK oleh
sponsor, (ii) tim peneliti, perekrutan dan pelatihan staf tambahan (iii) pemenuhan regulasi termasuk persetujuan Komisi Etik, BPOM, Komite MTA, asesmen laboratorium oleh auditor eksternal, (iv infrastruktur/sarana prasarana site, laboratorium sentral untuk uji di Afrika Selatan dan perusahaan ekspedisi pengiriman spesimen, (v) managemen (vi) sistem dokumen, (vii) tersedianya vaksin uji di site, dan (viii) sosialisasi kepada Dinas/Fasilitas Layanan Kesehatan setempat. Hal yang urgent untuk percepatan uji klinis dan upaya kemandirian vaksin Indonesia, adalah (i) Peningkatan kesiapan SDM dengan kualifikasi, integritas dan rekam jejak sesuai kebutuhan/standar uji klinis internasional (manager, peneliti, klinisi, farmasis, teknisi laboratorium, tenaga administrasi), juga pelatihan secara berkala GCP, MTA, dan basic science sesuai bidang ilmu/kelompok penyakit untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan keahlian tim peneliti; (ii) Penyediaan infrastruktur penunjang (laboratorium sentral dan biobank) yang terakreditasi internasional serta sistem pendukung dari institusi; (iii) Kemudahan birokrasi pengurusan perizinan dan koordinasi antar lembaga (Komite MTA, Komite Etik Penelitian Kesehatan, BPOM, Kemenkeu/Bea Cukai, Sponsor, Sentra Uji Klinis); (iv) Menyediakan atau memperbaiki data epidemiologis penyakit yang menjadi masalah di Indonesia; (v) Perlunya edukasi masyarakat tentang ancaman penyakit TB dan manfaat vaksin TB dengan cara sosialisasi yang efektif.
Full Text
Ringkasan : Sejak penerapan kebijakan freeze-unfreeze pada Juli 2022, Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam mengurangi ketergantungan pada impor obat dan alat kesehatan. Meskipun kebijakan KMK Nomor 1314 Tahun 2023 bertujuan mendorong penggunaan produk dalam negeri, lebih dari 52% alat kesehatan masih berasal dari luar negeri, dengan 90% bahan baku obat dan 70% alat kesehatan bergantung pada impor. Faktor penyebab ketergantungan ini meliputi rendahnya kapasitas produksi dalam negeri, persepsi negatif terhadap kualitas produk lokal, dan ketidakpastian dalam kebijakan freeze-unfreeze. Kegiatan Business Matching (BM) juga belum efektif, diakibatkan oleh masalah alokasi waktu dan kurangnya informasi yang tepat. Rekomendasi untuk meningkatkan kemandirian industri dan mengurangi ketergantungan impor meliputi Optimalisasi Kebijakan Freeze-Unfreeze dengan membangun sistem notifikasi real-time untuk memberikan waktu persiapan yang cukup bagi penyedia, Peningkatan Efektivitas Kegiatan Business Matching dengan memperbanyak frekuensi dan durasi BM serta menyediakan pelatihan bagi penyedia, Standarisasi dan Verifikasi Rencana Kebutuhan Obat dan Alkes dengan mengadopsi pedoman standar untuk akurasi kebutuhan, meningkatkan Kapasitas Produksi dan Ketersediaan Bahan Baku dengan melaksanakan program pelatihan dan menjalin kemitraan dengan penyedia bahan baku lokal, penguatan Sistem Monitoring Harga dan Kualitas Produk: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di e-Katalog, dan Optimalisasi Surveillance Kualitas Produk Dalam Negeri dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk lokal melalui pemantauan kualitas yang berkelanjutan. Implementasi rekomendasi ini diharapkan dapat memperkuat industri obat dan alat kesehatan dalam negeri, mengurangi ketergantungan impor, serta menciptakan ekosistem kesehatan yang lebih berkelanjutan.
Full Text
Ringkasan : Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
No. 21 2020 tentang Rencana Strategis Kemenkes Tahun 2020-2024 mendorong untuk meningkatkan
ketahanan dan kemandirian kefarmasian dengan penguatan produksi bahan baku obat (BBO) dalam
negeri. Adanya kebijakan change source dari BBO impor ke BBO lokal bertujuan untuk mengatasi
kendala transisi, terutama di tengah ketidakpastian terkait jaminan pasar, pasokan, dan harga.
Riset implementasi dilakukan dengan tujuan untuk mengeksplorasi sejauh mana kemampulaksanaan
dan keberterimaan stakeholder terhadap kebijakan change source BBO, serta untuk mengidentifikasi
faktor pendukung dan penghambat dari pelaksanaan kebijakan. Desain penelitian kualitatif digunakan
dengan melakukan in-depth interview (IDI) atau focus group discussion (FGD) dengan 20 stakeholder untuk mendapatkan gambaran lapangan dari berbagai perspektif.
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya minat industri farmasi untuk memproduksi dan menggunakan BBO lokal yang berakhir pada minimnya serapan obat dengan BBO lokal di fasilitas
pelayanan kesehatan (fasyankes). Rekomendasi berupa fasilitasi importasi, harmonisasi regulasi,
percepatan proses sertifikasi, kejelasan proses lelang obat dengan BBO lokal, dan sosialisasi dan
pengawalan implementasi menjadi quick win recommendation dalam rangka penguatan kebijakan
change source BBO.
Full Text