SSGI 2024 Ungkap Tantangan dan Solusi Stunting

27

Jakarta — Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 resmi dipaparkan dalam kegiatan diseminasi nasional yang dihadiri oleh para pakar, akademisi, dan pemangku kepentingan dari berbagai wilayah. Tiga narasumber utama dalam sesi panel menyampaikan hasil analisis dari berbagai sudut pandang yakni mengenai metodologi survei, korelasi faktor risiko stunting, serta validitas survei oleh tim independen. Acara di helat di Ruang Siwabessi Gedung Kementerian Kesehatan pada hari Senin (26/5).

Iin Mursalin, Lead Program Manager Tim Percepatan Penurunan Stunting Sekretariat Wakil Presiden yang memandu panel diskusi ini, menyampaikan bahwa data SSGI 2024 ditunggu oleh stakeholders di pusat maupun daerah untuk digunakan sebagai evaluasi program dan menyusun rencana kerja. Saat ini 38 provinsi dan 514 kab/kota sedang menyusun RPJMD dan data ini ditunggu untuk perencanaan 5 tahun ke depan.

Panelis pertama adalah Kadarmanto Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei, Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan metodologi, sampling dan pembobotan pelaksanaan survei. Ia memaparkan bahwa jumlah sampel survei adalah 34.500 blok sensus dengan 345.000 rumah tangga (ruta) balita.   

Survei ini menggunakan populasi bersumber dari sensus penduduk 2020 dan kerangka sampel dilakukan 2 tahap. Tahap pertama informasi jumlah populasi keluarga dan klasifikasi perkotaan/perdesaan, sedangkan tahap kedua adalah ruta balita yang diperbarui karena informasi balita pada tahun 2024 telah berubah. “Kami melakukan pemutakhiran untuk mencari eligible balita di masing-masing blok sensus untuk mencari balita yang akan diukur,” tambahnya.

Selanjutnya dilakukan stratifikasi, dalam proses ini diklasifikasikan menurut perkotaan/perdesaan selanjutnya berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga untuk mejaga keterwakilan dari nilai keberagaman karakterisik rumah tangga balita. Diharapkan kepala rumah tangga dengan pendidikan tinggi adalah golongan yang lebih mampu secara status ekonomi.

Baca Juga  BKPK Raih 3 Penghargaan di Acara HAI Fest Kemenkes 2024

Response rate nasional untuk blok sensus 97,6%, untuk ruta balita 85,8%. Di tingkat provinsi, response rate blok sensus cukup bagus mencapai 100%, ada yang 35%. Untuk ruta balita tertinggi 95,28% dan terendah 75,80%. Sementara di tingkat kabupaten/kota response rate blok sensus  maksimal 100% namun ada juga yang hanya 13,2%. Sedangkan untuk ruta balita maksimal 100%, minimal 50%.

Pada akhir paparan Kadarusman menyampaikan, “Evaluasi akhir disepakati bahwa >70% response rate blok sensus maupun ruta yang dapat ditoleransi. Kabupaten dengan RSE >25% perlu ditindak lanjuti analisanya, serta 10-12 kabupaten dengan response rate blok sensus dan ruta <70% perlu dipertimbangkan untuk dipublikasikan”.

Selanjutnya pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Iwan Ariawan selaku Ketua Tim Pakar SSGI 2024 mengajak audiens melihat lebih dalam di balik statistik prevalensi balita stunting. “Kita tidak boleh terpaku pada angka dan harus melakukan sesuatu karena di balik angka-angka prevalensi stunting ada anaknya, ada masa depan anak ini dan negara,” tegasnya.

Hasil SSGI menunjukkan bahwa selain masalah stunting ada berat badan kurang, gizi kurang dan gizi lebih. Kondisi per provinsi berbeda-beda. “Ada kaitannya antara berat badan kurang dan gizi kurang dengan stunting. Artinya stunting harus dicegah dan diintervensi sebelum terjadi” jelas Iwan,

Iwan juga menunjukkan adanya pola geografis yang jelas. “Wilayah Indonesia timur, memiliki prevalensi tertinggi untuk gabungan stunting, gizi kurang, dan berat badan kurang,” jelasnya. Indonesia tengah ke arah timur, banyak merahnya dimulai umur 12 bulan ke atas. Ini menandakan bahwa intervensi bukan hanya saat kehamilan tetapi juga setelah lahir. Ia menambahkan bahwa secara umum semakin banyak penduduk miskin prevalensi stunting semakin tinggi. Namun ada satu faktor yang juga mempengaruhi yaitu kapasitas fiskal atau kemampuan daerah. “Statistik  menunjukkan bahwa kemiskinan hanya menyumbang sekitar 31% terhadap variasi prevalensi stunting. Sisanya ada faktor-faktor lain yang bisa kita intervensi.”

Baca Juga  Ayo Cegah Stunting di Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur

Beberapa faktor spesifik yang dilakukan oleh Kemenkes yang ada di data SSGI antara lain adalah cakupan pemeriksaan kehamilan, pemberian tablet tambah darah, pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI, imunisasi serta prevalensi diare.

“Dari faktor-faktor ini terlihat bahwa yang berpengaruh pada prevalensi stunting di provinsi adalah prevalensi berat badan kurang, prevalensi gizi kurang, mendapatkan MP-ASI, keragaman MP-ASI, prevalensi diare, bayi berat badan rendah dan cakupan pemberian tablet tambah darah”, jelas Iwan. Efek yang paling besar terhadap peningkatan prevalensi stunting adalah prevalensi gizi kurang. Sedangkan cakupan MP-ASI merupakan efek paling besar terhadap penurunan prevalensi stunting.  

Narasumber Sabarinah dari Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) selaku Ketua Tim Validasi Eksternal SSGI 2024 menjelaskan validasi eksternal dilakukan untuk memperoleh informasi apakah mengukur sesuai dengan yang ingin diukur dan akan dibandingkan dengan prosedur operasional yang baku.

 Sampling dilakukan di tujuh provinsi mewakili lima regional. Setiap provinsi diambil ibukotanya dan 1 kabupaten secara random. Besaran sampel total 470 rumah tangga, 443 ibu dan 527 balita yang diukur. Meskipun cakupan validasi relatif kecil (0,28–2,58% dari populasi survei), hasilnya dinilai sangat memadai untuk evaluasi kualitas.

““Validasi dilakukan pada komponen input, proses, dan output. Validasi input meliputi observasi/wawancara terhadap enumerator saat training, validasi proses meliputi observasi saat wawancara dan pengukuran, sedangkan  validasi output dilakukan pengukuran ulang antropometri”, jelas Sabarinah.

Baca Juga  Kemenkes Sosialisasikan GERMAS dan Bahaya Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat

Hasil validasi menunjukkan bahwa validasi input dan output sudah cukup baik. Beberapa catatan pada validasi proses individu dan perlu mendapat perhatian adalah morbiditas balita, riwayat kehamilan, PMT balita, akses yankes balita dan konsumsi bayi, perlu ditingkatkan validitasnya

Salah satu temuan dari validasi individu adalah kesesuaian tinggi antara pengukuran enumerator dan validator, terutama untuk berat badan dan tinggi badan balita. “Koefisien korelasi mencapai 0,99, artinya cukup tinggi”, jelas Sabarinah. Namun ia juga mencatat bahwa pengukuran lingkar lengan atas (LILA) masih perlu ditingkatkan validitasnya.

Beberapa catatan lain muncul pada validasi proses di rumah tangga, seperti rendahnya tingkat observasi langsung terhadap kondisi sanitasi rumah tangga oleh enumerator, serta perlunya peningkatan probing (pendalaman pertanyaan) untuk diare karena merupakan variabel penting dalam stunting.

Secara keseluruhan, proses validasi menyimpulkan bahwa kualitas data SSGI 2024 baik, meskipun masih ada beberapa catatan yang perlu disempurnakan oleh enumerator dalam proses survei selanjutnya.

Kegiatan diseminasi ini bukan hanya forum presentasi data, tetapi juga ruang kolaborasi dan refleksi bersama. Dengan kualitas data yang semakin baik dan pemahaman faktor risiko yang mendalam, Indonesia kini memiliki modal kuat untuk mempercepat upaya penurunan stunting. Target 14% di tahun 2024 dan 5% di 2045 bukanlah sekadar angka, tetapi representasi dari upaya kolektif menyelamatkan masa depan generasi penerus bangsa.

(Penulis Grace Lovita Tewu & Fachrudin Ali/Edit Timker HDI)