Edukasi Penanganan Gigitan Ular: BKPK Gelar Talkshow HaiFest 2025

14

Jakarta – Dalam rangkaian kegiatan HaiFest 2025 dan peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-61, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan menggelar Talkshow “Ular Berbisa dan Penanganan Awalnya” di Balai Kartini (9/11). Kegiatan ini diadakan sebagai respons atas meningkatnya kejadian gawat darurat akibat gigitan ular di berbagai daerah Indonesia, sekaligus sebagai upaya memperkuat literasi masyarakat mengenai penanganan yang benar.

Acara ini dimoderatori oleh Analis Kebijakan BKPK Nagiot Cansaloni dan menghadirkan dua narasumber. Mengawali talkshow, Kepala Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan BKPK Anas Ma’ruf menyampaikan bahwa gigitan ular merupakan krisis senyap yang sering tidak terlaporkan dan masih banyak ditangani secara keliru di lapangan.

Baca Juga  Analisis Data Klaim JKN untuk Kebijakan Tepat

“Banyak kasus memburuk bukan semata-mata karena bisanya, tetapi karena penanganan awal yang salah. Masih banyak masyarakat yang melakukan tindakan seperti mengikat ekstremitas, menyayat luka, atau mengisap bisa. Ini berbahaya. Edukasi publik sangat penting untuk menyelamatkan nyawa,” tegasnya.

Narasumber Tri Maharani menyampaikan materi komprehensif mengenai toksin ular, jenis ular berbisa di Indonesia, gejala klinis, hingga tata laksana awal gigitan ular. Ia menjelaskan berbagai jenis racun, di antaranya neurotoksin seperti pada King Cobra (Ophiophagus hannah) serta hemotoksin yang menyebabkan gangguan pembekuan darah. Tri Maharani adalah pemenang penghargaan karya  anak bangsa  katergori individual 2025 dalam kepakaran toksikologi ular berbisa dan penanganan kegawatdaruratan gigitan ular.

Baca Juga  Semangat Inovasi HKN ke-61: Mewujudkan Layanan Kesehatan Berkualitas Melalui HTA

Dalam pemaparannya, Tri Maharani  menekankan pentingnya diagnosis cepat, seperti pemeriksaan 20-minute whole blood clotting test (20 WBCT) untuk mendeteksi gangguan koagulasi akibat bisa hemotoksik.

“Penanganan awal menentukan keselamatan korban. Imobilisasi yang benar dapat memperlambat penyebaran toksin. Antivenom hanya dapat diberikan di fasilitas kesehatan dan merupakan penanganan definitif. Kesalahan tindakan di lapangan justru memperburuk kondisi pasien,” jelas Tri Maharani.

Ia juga menjelaskan penatalaksanaan lanjutan di fasilitas kesehatan, termasuk penggunaan anticholinesterase pada kasus neurotoksin serta upaya mempertahankan jalan napas menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) bila terjadi kelumpuhan otot pernapasan.

Narasumber berikutnya Nida Amelia Hashifah dari Product Executive PT Bio Farma (Persero) turut memaparkan pentingnya Serum Anti Bisa Ular (SABU) sebagai terapi definitif.

Baca Juga  Kunjungan Bank Dunia ke Puskesmas Setiabudi

Nida menyampaikan perlunya kesiapan fasilitas kesehatan dalam menangani gigitan ular, “Penanganan gigitan ular membutuhkan kecepatan dalam triase, observasi, dan rujukan. Fasyankes harus mampu mengenali tanda bahaya, melakukan stabilisasi awal, dan mengetahui kapan antivenom diperlukan. Edukasi masyarakat juga sangat penting agar korban datang ke fasilitas kesehatan tanpa terlambat.”

Talkshow berlangsung interaktif, dengan peserta aktif bertanya mengenai cara mencegah paparan ular, langkah aman saat bertemu ular, serta cara mengenali gigitan berbisa. Acara ini menjadi salah satu sesi edukasi paling diminati dalam rangkaian HaiFest 2025. (Penulis: Irwan Fazar, Editor: Timker HDI dan Timker KSTKK)