Kebijakan kesehatan di Indonesia selama 25 tahun mengalami perubahan, perkembangan, dan keberlanjutan yang mendasar. Serta berpengaruh signifikan terhadap sistem kesehatan nasional. Hal tersebut tertuang dalam buku “Dari Krisis Multidimensi ke Krisis Kemanusiaan: Sejarah Kebijakan Kesehatan di Indonesia, 1999-2023”. Sebelum diluncurkan, buku ini dibedah lebih dalam pada Talk-show Kajian Sejarah Kebijakan Kesehatan dalam rangkaian HAI Fest, Hari Kesehatan Nasional, Jumat (8/11), di Jakarta.
Karya dari Baha ‘Uddin dan kawan-kawan merupakan kerja sama antara Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan dan Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan, FKKMK UGM. Penulisan buku ini dibagi dalam 4 periode dalam sejarah kesehatan di Indonesia. Pertama, periode I pada tahun 1999 – 2009 mengenai reformasi hingga desentralisasi. Lalu, periode II pada tahun 2009 – 2019 membahas tentang jaminan kesehatan nasional. Selanjutnya, periode III pada tahun 2020 – 2023 menggambarkan pada masa pandemi COVID-19. Terakhir periode IV pada tahun 2023 dan yang akan datang mengenai transformasi sistem kesehatan.
Baha menjelaskan pada periode pertama dalam buku tersebut akan tergambarkan kebijakan kesehatan pada situasi reformasi politik yang didalamnya terdapat demokratisasi dan pengurangan sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat.
Selain itu adanya kebijakan tentang sumber daya manusia kesehatan yang ditetapkan melalui Undang – undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran serta regulasi praktik dokter dan dokter gigi. Serta Undang – undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2004. Tak kalah penting adanya reformasi pengelolaan rumah sakit dan desentralisasi kesehatan.
Lebih lanjut, Baha menguraikan isi dari periode II yaitu adanya disrupsi kebijakan dan dilema desentralisasi pada masa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia mengungkapkan bahwa terdapat banyak perubahan signifikan dalam regulasi sistem kesehatan di Indonesia, terutama dalam konteks implementasi JKN. Namun, menurut Baha, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terlihat sulit berperan sebagai otoritas kesehatan yang utama. Berbagai konflik antar profesi, antar lembaga kesehatan, defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan sistem desentralisasi. Situasi-situasi tersebut sulit ditangani oleh Kemenkes, hingga membuat banyak regulasi. “Terdapat puluhan undang-undang terkait kesehatan, namun tidak memberikan dasar yang baik bagi sistem kesehatan,” ungkapnya.
Lebih dalam lagi, Baha memaparkan masa periode ketiga, yaitu pada masa Covid-19. Pada masa tersebut, menurut Baha, pemerintah melakukan strategi yang cukup adaptif. Pemerintah saling berkolaborasi dalam pengendalian COVID-19 dengan membentuk gugus tugas penanganan COVID-19 di bawah koordinasi BNPB. Selain itu, Kemenkes memfokuskan pada penguatan SDM kesehatan melalui mobilisasi SDM, pemberian insentif, pelonggaran STR, dan peningkatan kompetensi.
Upaya percepatan penanganan COVID-19 dengan melakukan pengadaan vaksin dan ketersediaan farmasi serta alat kesehatan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, serta kebijakan Emergency Use Authorization (EUA) untuk mempercepat ketersediaan vaksin dan akselerasi cakupan vaksinasi. Selanjutnya, Ia mengatakan pada periode ketiga ini juga terjadi disrupsi pengembangan sistem informasi kesehatan digital. Kemenkes melakukan transformasi teknologi dengan mengembangkan digitalisasi sistem kesehatan melalui teknologi informasi dan telemedicine bagi penderita COVID-19.
Pada periode keempat, Baha menjelaskan bagaimana arah kebijakan melalui transformasi sistem kesehatan. Dalam memperkuat kebijakan Kesehatan, Kemenkes telah menyusun Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan 458 pasal. Undang-undang ini, Baha katakan dapat memperkuat peran pemerintah, khususnya Kemenkes. Tentunya dengan adanya Undang-undang ini memperkuat koordinasi dan regulasi sektor kesehatan dengan mengintegrasikan berbagai aspek pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, teknologi, dan pendanaan Kesehatan. “Tantangan mendatang adalah pelaksanaan UU Kesehatan dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Serta mampu menjamin bahwa setiap negara mendapatkan haknya dalam pelayanan Kesehatan yang berkeadilan sosial,” ujar Baha.
Pada kegiatan yang sama, Linda Sunarti, pakar sejarawan menyampaikan pandangannya terhadap buku tersebut. Ia mengatakan, buku ini merupakan satu karya yang bagus, dalam geografi sejarah kesehatan Indonesia. Karya dari Baha ini, menurutnya menjadi terobosan terbesar dan ide baru yang sangat komprehensif. Dalam buku ini menjelaskan tentang perspektif penulis yang mendalam tentang perjalanan kebijakan kesehatan nasional dalam menghadapi berbagai tantangan krisis ekonomi sampai kemanusiaan seperti Covid-19.
Linda mengungkapkan bahwa, karya-karya sejarah kesehatan sebelumnya banyak ditulis oleh sejarawan asing dan yang dibahas adalah tentang penyakit, Kebijakan kesehatan era kolonial, dan juga kebijakan kesehatan di masa orde baru. Sehingga, menurutnya, buku ini memicu kalangan sejarawan untuk berusaha memperhatikan atau menggali aspek-aspek kesehatan yang bisa dijadikan kajian historis.
Selanjutnya Linda menilai buku ini tidak hanya menjadi saksi perjalanan panjang kebijakan kesehatan Indonesia. Tetapi juga mengupas salah satu episode yang paling mengguncang dalam sejarah kesehatan bangsa Indonesia yaitu pandemi COVID-19. Dalam buku ini tergambarkan bagaimana suatu pandemi dapat menguji seluruh sendi kehidupan bangsa. Menurut pandangannya, dalam buku ini mengungkap satu sistem kesehatan saat pandemi. Pandemi juga tergambarkan dapat mengugah kebijakan baru yang belum pernah diterapkan sebelumnya dan dilakukan cukup komprehensif. Jadi tidak sekedar krisis kesehatan, COVID-19 ini juga membuka tabir krisis kemanusiaan, memengaruhi berbagai aspek sosial ekonomi juga kebijakan publik.
Dalam kesempatan tersebut, Linda mengatakan buku ini menghadirkan kisah pembelajaran tentang bagaimana negara Indonesia merespons terhadap krisis dan belajar dari krisis tersebut. Di dalam buku ini, Linda merasakan seolah-olah diajak menelusuri kebijakan kesehatan yang penuh dinamika. Bagaimana setiap dinamika ini dirumuskan kebijakannya kemudian diuji dan dipertahankan demi kesehatan rakyat.
Mengakhiri sesi tersebut, Linda berharap buku yang merupakan kajian sejarah kebijakan kesehatan ini dapat dibuat menjadi seri lanjutan dari masing-masing bab yang ada. “Misalnya diterbitkan buku mengenai seri khusus kebijakan produk kesehatan atau kebijakan pelayanan kesehatan, atau sejarah tata kelola COVID-19, dan sebagainya. Jadi justru bagus karena buku ini bisa menjadi pemantik untuk karya-karya lain yang lebih besar,” tutupnya. (Faza Nurwulandari)