Pada tanggal 16 Desember 2021, temuan kasus pertama COVID-19 varian Omicron di Indonesia diumumkan secara resmi oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Kala itu seorang petugas kebersihan yang bekerja di RSDC Wisma Atlet Kemayoran Jakarta terkonfirmasi Omicron tepat sehari sebelumnya.
Di awal tahun 2022, kasus konfirmasi Omicron di Indonesia semakin bertambah. Tercatat dari data GISAID total kasus konfirmasi Omicron hingga 13 Februari 2022 sebanyak 5.106 kasus. Seiring dengan penyebaran COVID-19 varian Omicron yang cepat, tren kasus COVID-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan hingga pertengahan Februari 2022.
Deteksi Dini Varian SARS-CoV-2
Varian SARS-CoV-2 Omicron mulai menjadi varian dominan di Indonesia. Menghadapi fenomena COVID-19 yang terjadi saat ini, Kementerian Kesehatan berupaya meningkatkan pelaksanaan deteksi dini kemunculan varian baru virus SARS-CoV-2.
Seperti yang diketahui, pada dasarnya virus secara alamiah akan terus berubah melalui mekanisme mutasi. Terjadinya mutasi dapat berdampak terhadap penularan, keparahan penyakit, vaksin, pengobatan, dan penanganan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu monitoring dan pengawasan harus terus dilakukan terhadap mutasi yang muncul sebagai langkah antisipatif.
Sebelumnya identifikasi mutasi virus SARS-CoV-2 di Indonesia telah dilakukan dengan metode Whole Genome Sequencing (WGS). Namun saat ini pemerintah juga menggencarkan deteksi dini dengan reagen PCR metode SGTF (S-Gene-Target-Failure) yang dinilai mampu memberikan indikasi cepat bahwa kasus yang terkonfirmasi merupakan varian Omicron.
Apa itu WGS dan SGTF?
WGS merupakan proses menentukan urutan DNA lengkap dari genom SARS-CoV2 (±30.000 bp) dengan menggunakan teknologi Next-Generation-Sequencing. Selain digunakan untuk mengidentifikasi varian, WGS dapat pula dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti pengembangan vaksin, diagnostik, dan menentukan pola transmisi serta kekerabatan.
Khususnya untuk varian Omicron, terdapat posisi mutasi khas yaitu delesi asam amino gen S posisi 69/70. Posisi mutasi tersebut bisa dikenali dengan gagalnya deteksi dengan metode PCR. Kondisi tersebut dikenali dengan istilah SGTF (S-Gene-Target-Failure) yang kemudian digunakan oleh WHO sebagai panduan skrining varian/mutasi. Metode SGTF dapat mendeteksi varian genetika lebih cepat jika dibandingkan dengan WGS. Tetapi hanya varian yang sudah diketahui atau varian tertentu seperti Omicron. Sedangkan WGS dapat mengidentifikasi semua mutasi/varian, bahkan yang belum diketahui sebelumnya. Identifikasi Omicron dengan SGTF hanya membutuhkan rentang waktu 4-6 jam setelah pengambilan sampel sementara itu dengan tes WGS membutuhkan waktu paling cepat 3-5 hari. (Ripsidasiona)