
Jakarta-Persoalan gizi di Indonesia kini memasuki fase yang semakin kompleks. Negara tidak lagi hanya dihadapkan pada masalah kekurangan gizi, tetapi juga berhadapan dengan kelebihan gizi dan kekurangan zat gizi mikro sekaligus. Kondisi yang disebut sebagai triple burden malnutrition ini dinilai menjadi ancaman serius bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Isu tersebut mengemuka dalam Talkshow Hai Fest bertajuk “Bicara Gizi: Dari Piring Keluarga ke Kebijakan Negara” yang digelar di Balai Kartini Expo, Jakarta, Selasa (9/12/2025). Talkshow ini menghadirkan Nirmala Ahmad Ma’ruf, SKM, M.Si, Plh Kepala Pusat Kebijakan Upaya Kesehatan BKPK, Prof. Endang L. Achadi, pakar gizi, serta Dr. Wida Winarno, praktisi edukasi pangan, yang dimoderatori oleh Pracista Dhira Prameswari.
Dalam kesempatan ini, Ma’ruf menyoroti persoalan serius pada tataran kebijakan. Menurut dia, Indonesia sejatinya sudah memiliki berbagai regulasi terkait penanganan gizi, tetapi masih lemah dalam hal implementasi. “Kita kuat di aturan, tetapi lemah di pelaksanaan. Rapat lintas sektor berjalan, tapi implementasinya di lapangan masih sektoral,” ujar Ma’ruf.
Ia mengungkapkan bahwa tenaga gizi di puskesmas dan posyandu saat ini sangat terbebani pekerjaan. Petugas harus mengerjakan penimbangan, edukasi, hingga penginputan data dalam waktu bersamaan, sementara jumlah tenaga terbatas.
Masalah juga muncul pada pemanfaatan data gizi. Data rutin seperti dari posyandu dan aplikasi kesehatan kerap tidak dianalisis secara optimal, sementara data surveilans justru dijadikan dasar utama kebijakan meski bersifat sampling.
Terkait Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berbasis pangan lokal, Ma’ruf menilai masih terjadi kekacauan pemahaman di lapangan, mulai dari ketidaksesuaian porsi, usia sasaran, hingga standar menu. “Anak yang belum cukup umur dipaksa menghabiskan porsi berlebih, ini justru menimbulkan masalah baru,” katanya.
Menutup diskusi, Ma’ruf menegaskan bahwa para pembuat kebijakan juga harus memberi contoh nyata dalam pola hidup sehat dan konsumsi pangan bergizi. “Jangan sampai rapat bicara gizi, tapi pulangnya membawa makanan tinggi lemak dan gula. Keteladanan dari pimpinan sangat penting,” ujarnya.
Ancaman Gizi Dimulai dari Piring Makan
Prof. Endang L. Achadi mengungkapkan bahwa triple burden gizi mencakup tiga persoalan besar sekaligus, yakni kekurangan gizi berupa gizi buruk dan stunting, kekurangan zat mikro seperti anemia, serta kelebihan berat badan hingga obesitas.
“Masalah-masalah ini ada semuanya di Indonesia dan jumlahnya cukup besar. Salah satu penyebab utamanya adalah asupan makanan. Kita makan banyak dan enak, tetapi belum tentu cukup dan seimbang,” ujarnya.
Ia menyoroti kebiasaan konsumsi masyarakat yang cenderung tinggi makanan ultra-proses dengan kandungan gula, garam, dan lemak berlebih. Pola makan semacam ini dinilai makin memperburuk kualitas asupan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rentan.
Yang paling menjadi perhatian, menurut Prof. Endang, adalah dampak buruk kekurangan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun.
“Pada masa inilah organ tubuh dibentuk dan berkembang. Jika terjadi gangguan gizi, dampaknya bersifat permanen, mulai dari kecerdasan hingga risiko penyakit tidak menular seperti jantung, hipertensi, stroke, bahkan kanker,” katanya.
Edukasi Gizi Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Dr. Wida Winarno menambahkan bahwa kesalahan pola makan di keluarga kerap berulang lintas generasi. Menurutnya, banyak keluarga yang masih berorientasi pada “yang penting kenyang” tanpa memperhatikan kualitas gizi.
Ia mengakui, panduan makan bergizi sering sulit dipraktikkan karena masyarakat bingung dengan ukuran porsi. Untuk itu, ia menawarkan pendekatan praktis menggunakan ukuran telapak tangan sebagai patokan konsumsi. “Telapak tangan orang dewasa, anak, dan lansia berbeda. Itu bisa jadi cara sederhana menentukan porsi,” kata Wida.
Wida juga menyoroti tren diet instan yang marak di media sosial, seperti diet ekstrem, keto, dan intermittent fasting. Ia menekankan bahwa standar gizi seimbang yang sudah ada sejatinya sudah baik, hanya perlu disesuaikan dengan kebutuhan personal masing-masing.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya mengenalkan rasa asli pangan lokal sejak usia dini. Anak perlu dibiasakan dengan rasa sayur, buah, umbi, dan lauk tradisional agar tidak sepenuhnya bergantung pada makanan olahan dan cepat saji. “Kalau dari kecil anak sudah mengenal rasa asli makanan, saat dewasa dia akan mencari sendiri makanan sehat itu,” katanya.
Ketiga narasumber sepakat bahwa perbaikan gizi harus dimulai dari dapur rumah tangga, tetapi tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara. Edukasi keluarga, penguatan tenaga kesehatan, standardisasi pangan lokal, serta integrasi kebijakan lintas sektor menjadi kunci utama.
Berbagai mitos seputar makanan ibu hamil dan anak juga dinilai masih menghambat perbaikan gizi. Mulai dari larangan makan ikan karena dianggap amis, hingga anggapan ibu hamil harus makan dua kali lipat. Padahal, kebutuhan tambahan cukup satu porsi dengan komposisi gizi lengkap.
Talkshow ini menegaskan bahwa persoalan gizi bukan semata urusan makan, melainkan menyangkut masa depan kesehatan, produktivitas, dan daya saing bangsa. Tanpa perbaikan serius dari rumah hingga kebijakan negara, triple burden gizi dikhawatirkan akan terus membayangi generasi mendatang. (Penulis: Fachrudin Ali, Editor: Pusjak UK)









