IPCAF sebagai Instrumen Baku Penilaian Pengendalian Penyakit Infeksi

2513

Jakarta – Kementerian Kesehatan melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), yaitu Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan (Pusjak SKK dan SDK) beserta Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan telah mengkaji pelaksanaan pengendalian penyakit infeksi (PPI) dengan menggunakan Instrument Infection Prevention Control Assessment Framework (IPCAF) secara nasional. Hasil kajian ini disampaikan dalam pertemuan diseminasi kajian hari Kamis, 12 Mei 2022 di Kantor BKPK Jakarta. Pertemuan diselenggarakan secara hybrid dengan memadukan pertemuan tatap muka terbatas dan daring yang dihadiri 350 rumah sakit.

Dalam sambutannya, Sekretaris BKPK, Dr. Nana Mulyana menyampaikan bahwa PPI adalah upaya yang penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. “Ada delapan area penilaian PPI yang dilakukan oleh rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit yang mengikuti kajian ini berada pada level lanjutan (advanced). Kami berharap kegiatan ini dapat dilakukan secara periodik sehingga dapat menjadi masukan bagi rumah sakit,” tutur Nana.

Baca Juga  Inovasi Pendanaan untuk Tuntaskan Penanganan TBC

Lebih lanjut Nana menjelaskan kajian ini bermanfaat untuk mengetahui kondisi PPI di rumah sakit yang sebenarnya. Selain itu, instrumen yang digunakan, yaitu IPCAF dapat digunakan sebagai instrumen baku yang dapat digunakan oleh seluruh rumah sakit dalam melakukan self-assessment. Nana menekankan pentingnya upaya perbaikan dari hasil penilaian yang telah dilakukan. Pertemuan ini dihadiri Kepala Pusjak SKK dan SDK BKPK Dr. Wirabrata yang telah mengawal kegiatan ini sehingga dapat terlaksana dengan baik.

Pada kesempatan ini, Indri Rooslamiati selaku Penanggung Jawab kajian menerangkan bahwa PPI adalah kunci dalam meminimalkan atau mengurangi penyakit infeksi, resistensi antimikroba, dan Covid-19. Lebih lanjut Indri menuturkan bahwa WHO mengeluarkan instrumen IPCAF dan mempunyai sistem penilaian skor yang dapat digunakan sebagai alat penilaian dasar pelaksanaan kegiatan PPI di fasilitas pelayanan kesehatan.

Baca Juga  Peningkatan Kapasitas Advokator Kebijakan BKPK Kemenkes

“Instrumen ini adalah instrumen standar yang telah diuji coba di 46 negara, yang meliputi 181 rumah sakit dan 324 ahli dalam bidang PPI. Hasil ujicoba instrumen ini menyatakan bahwa instrumen IPCAF ini adalah instrumen yang robust dan dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan secara global dan dapat disesuaikan dengan keadaan disetiap negara,” kata Indri.

IPCAF mempunyai delapan komponen utama yaitu; program PPI; pedoman PPI; pendidikan dan pelatihan terkait PPI; surveilans Healthcare Associated Infections (HAIs); strategi multimodal; pemantauan, audit dan umpan balik; beban kerja, kepegawaian, dan hunian tempat tidur; dan lingkungan binaan, sarana, dan prasarana.

Pada akhir penjelasannya, Indri menyampaikan bahwa pelaksanaan PPI di rumah sakit di Indonesia sudah cukup baik, terutama untuk pedoman PPI dan lingkungan, sarana, dan prasarana. Namun, masih perlu ditingkatkan pada komponen strategi multimodal, pendidikan dan pelatihan, serta surveilans HAIs. Pemerintah juga perlu memberikan perhatian lebih pada rumah sakit di wilayah timur. Output dari penelitian ini adalah instrument IPCAF yang telah diterjemahkan dan disesuaikan dengan keadaan fasilitas kesehatan di Indonesia dan tervalidasi. Diharapkan instrument ini dapat digunakan oleh rumah sakit untuk melaksanakan self-assessment sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Indri juga mengemukakan beberapa rekomendasi dari hasil kajian ini, salah satunya memasukkan self-assesment IPCAF sebagai kegiatan tahunan rumah sakit, sehingga rumah sakit dapat melakukan evaluasi dan intervensi sesuai dengan keadaan masing-masing. (Penulis: Dian Widiati/Penyunting Fachrudin Ali)