
Jakarta – Kementerian Kesehatan melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menyelenggarakan ASEAN Consultative Meeting on the Establishment of the ASEAN Laboratory Network (ALN) yang berlangsung pada 8–10 Desember 2025 di Jakarta. Pertemuan ini menjadi langkah penting dalam upaya ASEAN membangun jejaring laboratorium regional yang terintegrasi untuk memperkuat deteksi dini, surveilans berbasis lab, penilaian risiko, dan respons terhadap ancaman kesehatan masyarakat di kawasan.
Harditya Suryawanto selaku Kepala Pusat Kebijakan Strategi dan Tata Kelola Kesehatan Global, dalam laporan panitia menyampaikan bahwa pertemuan ini diselenggarakan untuk menyempurnakan draft Terms of Reference (ToR) ALN serta mengidentifikasi kebutuhan teknis dan mekanisme koordinasi yang diperlukan untuk memperkuat kolaborasi laboratorium lintas negara.
“Kehadiran anda semua memastikan bahwa pengembangan ALN bersifat inklusif, secara teknis baik, dan selaras dengan realitas nasional dan aspirasi regional,” ujarnya.
Pertemuan resmi dibuka oleh Kepala BKPK, Prof. Asnawi Abdullah, yang menegaskan bahwa laboratorium merupakan pilar utama dalam sistem kewaspadaan dini dan surveilans dalam rangka pengendalian wabah. Beliau menekankan pentingnya harmonisasi kapasitas laboratorium di ASEAN untuk memastikan deteksi yang cepat dan respons yang terkoordinasi, terutama terhadap ancaman lintas negara.
“Melalui ALN, kami bercita-cita memperkuat kapasitas regional ASEAN dalam pencegahan, deteksi, dan respons terhadap ancaman kesehatan masyarakat melalui jaringan yang terstruktur dan inklusif,” ujar Prof. Asnawi pada Senin (8/12).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pembentukan ALN juga bertujuan untuk memetakan dengan cermat dan membuat kapasitas laboratorium inti di seluruh wilayah. Ini mencakup bidang-bidang penting seperti sistem manajemen mutu, protokol keamanan hayati dan biosekuriti, metode pengujian yang divalidasi, penilaian kualitas eksternal dan pengujian kemahiran, mekanisme rujukan yang kuat untuk spesimen, dan kapasitas lonjakan yang kritis pada saat krisis.
Prof. Asnawi mengharapkan peserta kegiatan dapat melahirkan diskusi yang produktif dan menghasilkan keputusan yang transformatif untuk pengembangan ALN kedepannya.
“Indonesia siap untuk bekerja sama dengan anda semua, mendengarkan dengan seksama, berkoordinasi dengan tekun, dan bertindak dengan tegas untuk keamanan kesehatan regional kita bersama,” pungkasnya.

Acara ini dihadiri oleh negara-negara anggota ASEAN, ASEAN Secretariat, ASEAN Centre for Public Health Emergencies and Emerging Diseases (ACPHEED), ASEAN Coordinating Centre for Animal Health and Zoonoses (ACCAHZ), ASEAN Centre for Biodiversity (ACB), ASEAN Emergency Operations Centre (EOC) Network, ASEAN Biothreats Surveillance Centre (ABVC), serta organisasi mitra internasional seperti WHO, FAO, WOAH, Gulf CDC, ECDC, US-CDC, UK-HSA, ASEAN-UK Health Security Partnership, JICA, ERIA, FIND, ACESO Global, Institut Pasteur, dan jejaring laboratorium lainnya.
Hari pertama pertemuan menampilkan paparan dari lembaga internasional mengenai model jejaring laboratorium yang telah berhasil di berbagai kawasan. WHO dan FAO menyoroti pentingnya koneksi dan jejaring laboratorium kesehatan manusia dan hewan dalam mengatasi ancaman zoonosis yang menyumbang proporsi terbesar kasus penyakit menular.
Negara-negara anggota ASEAN memaparkan kondisi laboratorium nasional di masing-masing negara, termasuk arsitektur jejaring laboratorium nasional, kapasitas diagnostik, standar biosafety dan biosecurity, serta potensi kontribusi terhadap kerja sama kawasan. Informasi ini menjadi dasar penting dalam memastikan ToR ALN mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan dan dapat diimplementasikan secara harmonis di seluruh negara anggota.
Pada hari kedua, peserta mengikuti diskusi World Café yang menggali isu-isu kunci seperti hambatan kolaborasi regional, prioritas peningkatan kapasitas teknis, potensi kontribusi negara anggota, model tata kelola jaringan, serta aspek keberlanjutan dukungan sumber daya. Hasil diskusi ini kemudian dipresentasikan dalam sesi pleno dan diskusi terfokus untuk menyempurnakan draft ToR secara lebih rinci.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan Focus Group Discussion (FGD) untuk memperdalam penyusunan konsep dan arah pengembangan ALN sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas deteksi dan surveilans kawasan. Melalui FGD ini, Kementerian Kesehatan berupaya memastikan bahwa kontribusi Indonesia dalam proses pembentukan ALN selaras dengan prioritas nasional, memperkuat posisi ACPHEED sebagai regional implementing entity, serta mendorong terwujudnya jejaring laboratorium yang tangguh, terkoneksi, dan responsif terhadap ancaman kedaruratan kesehatan di masa depan.
Hari ketiga menghadirkan diskusi dengan berbagai mitra internasional mengenai peluang dukungan teknis, pendanaan, serta kerja sama penelitian yang dapat memperkuat operasionalisasi ALN. Keterlibatan multisektor ini menunjukkan bahwa penguatan jejaring laboratorium ASEAN akan membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan lintas negara yang berkelanjutan. (Penulis: Rita Ratna Puri, Editor: Timker HDI)









