
Jakarta – Kementerian Kesehatan melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) menyelenggarakan Koordinasi Pembinaan Wilayah: Sinergisme Program Kesehatan Pusat – Daerah melalui Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) secara hybrid pada Kamis (12/6). Kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam menyelaraskan arah kebijakan kesehatan nasional dan daerah melalui RIBK.
Sekretaris BKPK Etik Retno Wiyati, membuka acara dengan menekankan pentingnya RIBK sebagai panduan perencanaan dan penganggaran pembangunan kesehatan. RIBK disusun berdasarkan kebutuhan nasional dan daerah serta selaras dengan RPJPN dan RPJMN.
“RIBK menjadi acuan dalam menyelaraskan pembangunan kesehatan antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah juga diamanatkan menyusun anggaran kesehatan yang mengacu pada kebutuhan nasional,” ujar Etik.
Dengan diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pendekatan mandatory spendingdigantikan dengan sistem penganggaran berbasis kinerja.
“Melalui forum seperti ini, kita ingin menyinergikan kebijakan pusat dan daerah. Ini juga jadi kesempatan untuk menyampaikan informasi teknis RIBK agar implementasinya semakin tepat sasaran,” tambahnya.
Etik menjelaskan bahwa RIBK akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan telah melalui koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait seperti Kemendagri dan Bappenas. Pertemuan ini menjadi ruang strategis untuk menyatukan arah pembangunan kesehatan nasional menuju Indonesia Emas 2045.
Muhammad Zaki Firdaus narasumber dari Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas menjelaskan bahwa arah kebijakan kesehatan dalam RPJMN 2025-2029 memiliki lima fokus: peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat, pemberian makan gratis, pengendalian penyakit dan gaya hidup sehat, penguatan layanan dan tata kelola, serta penguatan ketahanan kesehatan.
“Kelima arah kebijakan ini punya strategi masing-masing yang lebih detail dan perlu dituangkan dalam indikator yang jelas agar bisa diimplementasikan di daerah,” katanya.
Ia juga menyoroti adanya pergeseran dari mandatory spending ke penganggaran berbasis kinerja. “RIBK menjadi jembatan dan acuan antara dokumen perencanaan pusat dan daerah,” jelasnya.
Bappenas bersama Kemendagri dan Kemenkes juga melakukan pendampingan ke beberapa lokus pemerintah daerah untuk memastikan sinkronisasi RPJMN dan RPJMD berjalan baik.
Sementara itu, Arifin Efendi Hutagalung dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri menyoroti pentingnya penyelarasan RIBK dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, SPM merupakan hak yang wajib diperoleh warga negara. SPM dalam pelayanan dasar ada 6, salah satunya adalah kesehatan.
“Pencapaian SPM bidang kesehatan provinsi dan kabupaten/kota menjadi indikator kinerja kunci, sehingga RPJMD dan Renstra Dinas Kesehatan harus selaras dengan indikator RIBK,” kata Arifin.
Palupi Widyastuti dari Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes menyampaikan pentingnya penyelarasan indikator RIBK 2025–2029 dengan dokumen perencanaan daerah.

“Justru keunggulan RIBK ada di fleksibilitasnya. Ia menjawab kebutuhan spesifik di daerah sambil tetap mengacu pada target nasional,” ujarnya.
Ia menambahkan pemerintah daerah diharapkan dapat mencantumkan indikator RIBK terpilih dalam RPJMD dan Renstra SKPD.
Kegiatan ini dihadiri unit utama Kemenkes sebagai koordinator wilayah, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Bappeda Provinsi, dan perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dari seluruh Indonesia.
Melalui pertemuan ini, diharapkan penyusunan RPJMD dapat mengacu kepada RIBK yang akan ditetapkan serta koordinasi lintas sektor dalam bidang kesehatan semakin solid. RIBK diharapkan menjadi panduan bersama untuk memperkuat layanan kesehatan yang merata dan berkualitas, menuju Indonesia Emas 2045. (Penulis: Nisa Fitriyani, Editor: Timker HDI dan MIK)