Dr. Ir. Bambang Setiaji, SKM, M.Kes, Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan, BKPK Kemkes RI

Asbes murah, tapi nyawanya mahal.” ungkapan ini bukan sekadar slogan, melainkan peringatan nyata tentang bahan bangunan yang sudah lama menghantui kesehatan masyarakat
Pendahuluan
Asbes masih digunakan luas di Indonesia meskipun terbukti menyebabkan penyakit mematikan seperti kanker paru dan mesothelioma. Lebih dari 60 negara telah melarang penggunaannya, sementara Indonesia masih memperbolehkan jenis chrysotile. Artikel ini mengulas bahaya asbes, fakta terkini di Indonesia, serta pentingnya penguatan kebijakan nasional untuk melindungi generasi mendatang dari risiko paparan asbes.
Asbes: Serat Kecil yang Mematikan
Setiap kali seseorang memotong, menggergaji, atau bahkan menyapu atap asbes yang tua, serat-serat halus yang nyaris tak terlihat bisa beterbangan ke udara. Ketika terhirup, serat itu akan masuk ke paru-paru dan menetap seumur hidup. Menurut World Health Organization (WHO, 2024), tidak ada batas aman untuk pajanan asbes. Seratnya dapat menyebabkan asbestosis (jaringan paru menjadi keras), kanker paru, dan mesothelioma, jenis kanker langka pada selaput paru. Gejalanya bisa muncul 20 hingga 40 tahun setelah paparan, membuat penyakit ini sulit dideteksi dini.
“Awalnya saya hanya batuk biasa, tapi ternyata paru-paru saya rusak karena debu asbes,” tutur seorang pekerja bangunan di Jakarta. Kisah seperti ini bukan hal langka. Lestari et al. (2023) mencatat, setiap tahun sekitar 1.600 kematian di Indonesia disebabkan penyakit akibat asbes.
Indonesia: Salah Satu Pengguna Asbes Terbesar di Dunia
Meski sudah diketahui berbahaya, Indonesia masih menjadi importir asbes terbesar di Asia Tenggara, dengan volume sekitar 150.000 ton per tahun. Sekitar 13% rumah tangga Indonesia masih menggunakan atap asbes, terutama di wilayah perkotaan padat (Suraya, 2024). Sementara itu, lebih dari 60 negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Brasil, sudah melarang asbes sepenuhnya dan beralih ke bahan pengganti seperti serat selulosa, PVA, aramid, dan material komposit lokal (American Cancer Society, 2023).
Sayangnya, di Indonesia regulasi yang berlaku sudah usang. PP No. 74 Tahun 2001 dan Permenaker No. 3 Tahun 1985 hanya melarang asbes biru (crocidolite), sementara jenis yang paling umum digunakan asbes putih (chrysotile) masih diperbolehkan, padahal sama-sama mematikan (WHO, 2024).
Dampak Asbes Tak Hanya di Pabrik
Bahaya asbes tidak hanya mengancam pekerja industri, tetapi juga masyarakat umum. Atap rumah lama yang retak, pipa air berasbes yang pecah, atau limbah konstruksi yang tidak dikelola dengan baik dapat melepaskan debu beracun ke udara. Paparan bisa terjadi di mana saja: di sekolah, rumah sakit, hingga rumah pribadi. Penelitian Chen et al. (2024)menunjukkan bahwa penyakit akibat asbes sering salah diagnosis sebagai TBC atau penyakit paru lainnya, sehingga banyak kasus tidak terlaporkan. Kondisi ini ibarat “bom waktu kesehatan”. Tanpa tindakan sekarang, beban penyakit dan biaya kesehatan akibat asbes akan meningkat drastis dalam dua dekade mendatang (Zhao et al., 2024).
Pentingnya Penguatan Kebijakan Menuju Indonesia Bebas Asbes
Melihat ancaman serius ini, penting dilakukan upaya yang serius untuk mendorong penguatan kebijakan Pengendalian Pajanan Asbes, sebagai kebijakan awal menuju Indonesia Bebas Asbes Tahun 2035. Beberapa kebijakan yang perlu didorong secara terintegrasi adalah, sbb:
1. Inventarisasi Nasional dan Pemetaan Risiko
Melakukan pendataan bangunan publik, fasilitas industri, dan perumahan yang masih menggunakan bahan asbes. Teknologi Geographic Information System (GIS) akan digunakan untuk memetakan wilayah berisiko tinggi (Suraya, 2024).
2. Sistem Surveilans dan Registri Penyakit
Membangun Registri Nasional Penyakit Akibat Pajanan Asbes untuk mendeteksi dan mencatat kasus secara digital, sekaligus menjadi dasar pemberian kompensasi bagi pekerja terdampak (Chen et al., 2024).
3. Program Substitusi dan Insentif Industri
Memberi insentif fiskal, keringanan pajak, dan dukungan teknologi bagi industri agar beralih ke bahan pengganti yang aman dan ramah lingkungan. Ini sejalan dengan agenda ekonomi hijau (green industry) dalam RPJMN dan peta jalan Kemenperin.
4. Reformasi Regulasi dan Pelarangan Bertahap
Revisi PP No. 74/2001 dan Permenaker No. 3/1985 agar seluruh jenis asbes dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dilarang penggunaannya secara bertahap. Targetnya, penghentian impor asbes dalam lima tahun dan pelarangan total dalam sepuluh tahun (U.S. Environmental Protection Agency [EPA], 2024).
5. Edukasi Publik dan Kampanye Nasional
Meluncurkan gerakan “Indonesia Bebas Asbes 2035”, dengan kampanye publik tentang bahaya asbes, pelatihan petugas teknis, dan sosialisasi pengelolaan limbah asbes secara aman.
Langkah Bertahap yang Realistis
Dari ke-5 kebijakan tersebut, ada 3 langkah strategis yang dapat dilakukan secara bersamaan dan saling melengkapi, yaitu:
- Inventarisasi dan surveilans nasional (langkah cepat dan mudah dilaksanakan)
- Substitusi bahan industri bebas asbes (transisi ekonomi menuju industri hijau)
- Revisi regulasi pelarangan total (dasar hukum jangka panjang)
Kombinasi ketiga langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam upaya global eliminasi penyakit akibat asbes dan mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Bernapas Lega, di Bumi yang Sehat
Menghapus asbes bukan hanya soal kesehatan manusia, tetapi juga keberlanjutan lingkungan. Limbah asbes sulit dikelola, mencemari tanah, air, dan udara. Dengan mengganti bahan berasbes, Indonesia tidak hanya melindungi rakyatnya, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan bahan kimia berbahaya secara global.
Langkah ini memang tidak mudah. Akan ada tantangan dari industri, biaya transisi, dan kebutuhan edukasi publik yang besar. Namun, sejarah membuktikan bahwa negara yang berani melarang asbes akhirnya menekan angka penyakit dan menghemat biaya kesehatan secara signifikan. Seperti dikatakan WHO (2024): “Satu-satunya cara aman untuk mengelola asbes adalah dengan tidak menggunakannya sama sekali.”
Penutup: Bersama Menuju Indonesia Bebas Asbes
Kita tidak bisa melihat serat asbes dengan mata telanjang, tapi dampaknya nyata. Ia menembus dinding rumah, menyelinap ke paru-paru, dan perlahan merenggut nyawa tanpa suara.
Kini saatnya kita bertindak, bersama pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk menghentikan siklus bahaya ini. Dengan kebijakan yang kuat, inovasi bahan pengganti, dan kesadaran publik, Indonesia bisa benar-benar bernapas lega di tahun 2035.








