“Indonesia saat ini tengah menghadapi Double Burden of Malnutrition (DBM). Kondisi dimana suatu populasi mengalami malnutrisi ganda yakni kekurangan gizi seperti Stunting dan Wasting serta kelebihan gizi seperti Obesitas. Fenomena ini semakin umum dihadapi negara-negara Asia Tenggara yang mengalami perubahan sosial-ekonomi, urbanisasi, dan pola makan yang berubah.”
Demikian dipaparkan Prof. Aman Bhakti Pulungan pada acara Bincang Asik Bersama Pakar (Binar) yang diselenggarakan oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) pada Rabu (30/10) di Jakarta.
“Masalah gizi yang kompleks di Asia Tenggara memerlukan solusi berbasis data lokal dan pendekatan lintas sektor,” ujar Prof. Aman.
Mengamati fenomena tersebut Prof. Aman beserta kolega menuangkan pemikirannya melalui artikel ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional The Lancet baru-baru ini. Artikel ilmiah berjudul Local Anthropometrics parameters for assessing double burden of malnutrition in South Asian and Southeast Asian countries: a review and retrospective analysis ini mengevaluasi parameter antropometri lokal yang digunakan untuk menilai DBM di negara-negara Asia Tenggara.
Berdasarkan kajian Prof. Aman menggunakan standar pertumbuhan internasional untuk standar antropometri untuk daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara memiliki keterbatasan karena adanya variasi etnis, keragaman populasi, dan kesenjangan ekonomi. Ada perkiraan yang underestimate untuk overweight atau obesitas dan perkiraan stunting yang berlebihan.
Beberapa studi potong lintang di India pada balita 0-59 bulan menunjukkan terjadinya prevalensi stunting dan wasting yang overestimate (14,0% vs 6,8%; dan 18,2% vs 9,7%), dan underestimate untuk overweight (1,0% vs 3,1%) jika menggunakan standar WHO dibadingkan dengan standar lokal.
Di Indonesia, Standar Antropometri Anak mengacu pada WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO Reference 2007 untuk anak 5 (lima) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Menurut Prof. Aman kurva pertumbuhan dipakai sesuai dengan standar negara masing-masing, akan sangat jauh perbedaannya untuk bisa mencapai kurva WHO.
Prof. Aman menyoroti perlunya pendekatan yang lebih lokal dan kontekstual dalam mengatasi masalah gizi. Penggunaan parameter antropometri yang sesuai dengan karakteristik lokal menurutnya dapat membantu dalam pengidentifikasian dan penanganan lebih efektif terhadap masalah DBM.
“Tujuannya adalah untuk memberikan rekomendasi yang lebih kontekstual dan tepat sasaran dalam menangani masalah gizi di kawasan ini. Upaya ini penting untuk mengatasi kekurangan dan kelebihan gizi secara bersamaan di tengah perubahan sosial-ekonomi yang cepat di kawasan ini,” jelas Prof. Aman.
Sebagai upaya intervensi masalah tersebut Prof. Aman menawarkan rekomendasi seperti peningkatan kapasitas dalam analisis dan interpretasi data survei, pengembangan kebijakan yang mempertimbangkan DBM, khususnya pada populasi rentan, dan penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan standar antropometri yang disesuaikan dengan konteks Asia Tenggara.
Lebih lanjut Prof. Aman juga menyampaikan bahwa kondisi DBM perlu diantisipasi agar overweight pada anak tidak sampai menimbulkan hipertensi atau diabetes tipe 2. Caranya bisa dengan dilakukan Skrining pada anak yang dilakukan saat awal tahun ajaran baru, dimana seluruh anak diukur tinggi badan, berat badan, pemeriksaan tekanan darah serta glukosa urine.
Menanggapi paparan Prof. Aman, Analis Kebijakan Ahli Utama BKPK Siswanto mengatakan bahwa standar WHO sebenarnya untuk Public Health, bukan untuk meng-assess anak balita. Namun menurut Siswanto penggunaan kedua standar tersebut dirasa benar. Standar WHO digunakan untuk diagnosis Public Health dan tidak meng-address anak per anak namun faktor risikonya. Sementara standar lokal digunakan dalam konteks intervensi per individu.
Acara Bincang Asik Bersama Pakar berjalan seru, sejumlah pakar melanjutkan diskusi dengan Prof. Aman mengenai hasil kajiannya. Ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraannya, berbagi hasil analisis/kajian untuk memperkaya pengetahuan para pegawai BKPK serta pemerhati kesehatan lainnya.
Kepala BKPK Syarifah Liza Munira dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini memang bertujuan untuk berbagi informasi, menjalin networking, dan pengembangan profesional yang dikemas dalam suasana yang santai namun tetap produktif yang ia sebut Brown Bag Lunch.
“Kami mengundang para pakar untuk menyampaikan findings terbaru, sehingga ada diskusi ilmiah. Harapannya kegiatan ini dapat menambah pengetahuan bagi peserta dan menambah referensi bagi pengampu kepentingan dalam penyusunan kebijakan,” ujarnya. Penulis: Kurniatun Karomah