Bali– Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin membuka secara resmi Health Working Group (HWG) Ke-3 di Bali, Senin (22/8). HWG merupakan upaya bersama tingkat global dalam upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons dalam menghadapi pandemi yang akan datang.
Pertemuan HWG 3 ini akan menghasilkan tiga output utama yakni pertama, membangun pusat manufaktur vaksin, terapi, dan alat diagnostik (VTD) dan pusat penelitian kolaboratif guna mendukung pengembangan dan penguatan kapasitas manufaktur VTD yang digerakkan oleh penelitian di Low Middle Income Countries (LMICs) untuk mengembangkan, meningkatkan, dan memperkuat kapasitas penelitian dan manufaktur.
Kedua, berbagi mekanisme dan harmonisasi regulasi untuk memudahkan proses peningkatan kapasitas global guna memastikan percepatan ketersediaan VTD selama keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Ketiga, mendapatkan prinsip yang dapat disepakati tentang pembentukan kolaborasi Uji Klinis Multisenter VTD untuk mendukung Pusat Manufaktur dan Pusat Penelitian Kolaboratif di antara negara-negara G20 guna upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons atas pandemi.
Strategi yang dibahas pada HWG ke-3 ini adalah perluasan Pusat Pembuatan Vaksin, Terapi, dan Diagnostik Global di Negara Berpenghasilan Menengah ke Bawah, serta Memperkuat Jaringan Ilmuwan Global di Bidang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Terkait Perluasan Pusat Pembuatan Vaksin, Terapi, dan Diagnostik global di Negara Berpenghasilan Menengah ke Bawah, pada tahun 2021 menteri kesehatan negara-negara G20 menyatakan bahwa imunisasi COVID-19 harus diakui secara global.
Hal ini menyiratkan semua negara memiliki akses yang adil dan setara terhadap vaksin. Untuk mencapai hal ini, penting untuk memperkuat kapasitas penelitian dan pengembangan, mendiversifikasi rantai pasokan dan meningkatkan kolaborasi antar negara dan antara pusat penelitian publik dan swasta.
Selain fokuskan pada vaksin, sama pentingnya untuk memastikan akses dan kapasitas yang adil dalam mengembangkan diagnostik dan terapi untuk memungkinkan akses yang lebih baik dalam menghadapi pandemi di masa depan.
Tanpa diagnostik dan terapeutik, akan sulit untuk mencegah penularan lebih lanjut, mengobati secara dini, dan mencegah kematian.
Pandemi COVID-19, telah memberikan pelajaran bahwa respons kesehatan global dilakukan dengan memutus mata rantai penularannya. Kesiapsiagaan pandemi yang lebih kuat di setiap negara sangat penting.
Dalam kesempatan ini Menkes Budi juga mengatakan sebuah pandemi dapat muncul di mana saja di dunia, dan dengan demikian respons yang cepat itu penting untuk dapat mencegah, menahan, dan merespon penyakit. Demikian pula, suatu penyakit mulai mereda di satu tempat, tapi muncul di tempat lain, hal itu dapat menyebabkan penyakit bangkit lagi di tempat awal.
“Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memanfaatkan momen ini untuk memperluas penelitian dan kapasitas produksi yang adil dan merata dalam upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon secara global,” tutur Menkes.
“Konsepnya seluruh umat manusia harus diobati, atau prinsipnya menjadi pandemi one for all, all for one’” tegas Menkes.
Lebih lanjut Menkes menyebutkan kalau Indonesia punya kapasitas riset dan kapasitas manufaktur maka akses bisa dilakukan oleh negara lain, karena tidak mungkin satu negara saja bisa menyelesaikan pandemi yang sifatnya global karena penularan terjadi lintas negara,” ucap Menkes.
Dalam HWG Ke-3 ini, Indonesia dan beberapa anggota G20, yakni Argentina, Brasil, India, serta Afrika Selatan, memiliki sebuah inisiatif untuk memperkuat pusat manufaktur dan membangun pusat penelitian kolaboratif.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, upaya kolaboratif ini melibatkan semua negara anggota G20 dan organisasi internasional. Inisiatif ini berfokus pada pembangunan penelitian dan kapasitas produksi di negara-negara anggota G20 berpenghasilan menengah.
Kesenjangan dalam kapasitas setiap negara G20 dalam menghadapi pandemi dapat memperlambat kesiapsiagaan dan respons terhadap COVID-19.
Banyak platform teknologi pembuatan vaksin telah dikembangkan, termasuk mRNA, viral vector, adjuvanted protein sub unit, dan inactivated vaksin, khususnya dengan efektivitasnya yang tinggi. Namun, sebagian besar vaksin mRNA telah dikembangkan dan diproduksi oleh perusahaan farmasi di negara berpenghasilan tinggi.
“Untuk bersiap menghadapi pandemi berikutnya dan ancaman kesehatan global, setiap negara harus memiliki akses dan kapasitas untuk mengembangkan vaksin, terapi, dan diagnostik (VTD) terlepas dari status ekonomi dan geografisnya,” ujar Menkes Budi.
Dalam meningkatkan akses global dan kapasitas produksi, berbagi pengetahuan, pengembangan kapasitas, dan transfer teknologi di antara negara-negara G20 sangat penting. Salah satu contoh yang berhasil adalah produksi Molnupiravir-antivirus COVID-19 oral di negara berpenghasilan menengah ke bawah yang diaktifkan oleh The Medicines Patent Pool (MPP) Facility.
“Model seperti itu penting untuk memungkinkan transfer teknologi untuk kesiapsiagaan pandemi,” ucap Menkes.
(Penulis Fachrudin Ali)